Monday, December 30, 2013

Selama ini kita mengenal ada 2 macam bentuk penanggalan yaitu lunar (mengacu pada bulan), solar (mengacu pada matahari), dan lunisolar (mengacu pada keduanya).  Yang paling kita kenal di dunia ini adalah penanggalan Hijriyah dan Masehi. Kalender Hijriyah adalah kalender  yang mengacu pada perputaran bulan. Sedangkan kalender Masehi mengacu pada perputaran matahari. 

Kata Masehi digunakan oleh umat Kristen awal untuk menetapkan hari kelahiran Yesus yang dalam bahasa latin disebut Anno Domini (AD) yang berarti “Tahun Tuhan Kita” atau Common Era/CE (Era Umum) untuk era Masehi, dan Before Christ/BC (sebelum [kelahiran Kristus) atau Before Common Era / BCE (Sebelum Era Umum).

Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat selama abad ke-8.

Semula biarawan Katolik, Dionisius Exoguus pada tahun 527 M ditugaskan pimpinan Gereja untuk membuat perhitungan tahun dengan titik tolak tahun kelahiran Nabi Isa as (Yesus). Dan mula-mula dipergunakan untuk menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun pendirian Roma.

Seri Tokoh Inspirasi (2) - KHA DAHLAN

Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan) dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga). Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.

Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).

Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah.

Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Seri Tokoh Inspirasi (1) - BUYA HAMKA

Nama panjangnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tapi ia lebih dikenal dengan HAMKA. Seorang ulama yang pernah dilahirkan oleh bangsa Indonesia, yang berpengaruh hingga di kawasan Asia Tenggara. Hamka lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, Putra H. Abdul Karim Amrullah. Seorang tokoh pelopor gerakan Islam “Kaum Muda” di daerahnya.

Hamka hanya sempat masuk sekolah desa selama 3 tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) sekitar 3 tahun. Tapi ia berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab; yang membuat ia mampu membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan dari tulisan-tulisan Barat. Sebagai putra tokoh pergerakan, sejak kecil Hamka menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakannya melalui ayah dan rekan-rekan ayahnya.

Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk mempelajari seluk-beluk gerakan Islam modern dari H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin). Kursus-kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo, Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak ipamya, AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ulama setempat.