Monday, December 30, 2013

Seri Tokoh Inspirasi (1) - BUYA HAMKA

Nama panjangnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, tapi ia lebih dikenal dengan HAMKA. Seorang ulama yang pernah dilahirkan oleh bangsa Indonesia, yang berpengaruh hingga di kawasan Asia Tenggara. Hamka lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, Putra H. Abdul Karim Amrullah. Seorang tokoh pelopor gerakan Islam “Kaum Muda” di daerahnya.

Hamka hanya sempat masuk sekolah desa selama 3 tahun dan sekolah-sekolah agama di Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) sekitar 3 tahun. Tapi ia berbakat dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab; yang membuat ia mampu membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan dari tulisan-tulisan Barat. Sebagai putra tokoh pergerakan, sejak kecil Hamka menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakannya melalui ayah dan rekan-rekan ayahnya.

Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa untuk mempelajari seluk-beluk gerakan Islam modern dari H. Oemar Said Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq Fakhruddin). Kursus-kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo, Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak ipamya, AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan tokoh-tokoh ulama setempat.


Pada bulan Juli 1925, ia kembali ke rumah ayahnya di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah. Pada Februari 1927, Hamka berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim lebih kurang 6 bulan. Selama di Makkah, ia bekerja di sebuah percetakan. Pada bulan Juli, Hamka kembali ke tanah air dengan tujuan Medan. Di Medan ia menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama beberapa bulan. Pada akhir 1927, ia kembali ke kampung halamannya.

Pada 1928, Hamka menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman Pustaka, ketua Tabligh, sampai menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang. Pada 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Pada 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah ke Ujungpandang untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan semangat menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Ujungpandang.

Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950, dan memulai karirnya sebagai pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang dipimpin KH. Abdul Wahid Hasyim.

Tahun 1950 itu juga HAMKA mengadakan lawatan ke beberapa negara Arab sesudah menunnaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan ini ia mengarang apa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajah. Sebelumnya Hamka menulis Di Bawah Naungan Ka’bah (1938), Tenggelamrrya Kapal van der Wljk (1939), Merantau ke Deli (1940), Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), dan biografi orang tuanya berjudul Ayahku (1949).

Ia pernah mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Tentang pengaruhnya, Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia berkata, “ Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”
Modal Hamka yang utama sebagai seorang intelektual-otodidak adalah keberanian dan ketekunan. Karena dedikasinya di bidang dakwah, pada tahun 1960 Universitas Al-Azhar Cairo menganugerahkan Doktor Honoris Causa kepada Hamka yang membawakan pidato ilmiah berjudul “Pengaruh Ajaran dan Pikiran Syekh Mohammad Abduh di Indonesia”.

Kemudian, dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Hamka memperoleh Doktor Honoris Causa (Doktor Persuratan) yang pengukuhannya tahun 1974 dihadiri Perdana Menteri Tun Abdul Razak. Semasa hidupnya dalam kapasitas sebagai Guru Besar yang dikukuhkan oleh Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama, Jakarta, Hamka sering memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi. Demikian pula ceramah dakwah Hamka melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI diminati jutaan masyarakat Indonesia masa itu.

Dalam bidang politik, Hamka menjadi anggota konstituante hasil pemilu pertama 1955. la dicalonkan oleh Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di JawaTengah. Muhammadiyah waktu itu adalah anggota istimewa Masyumi. Dalam sidang konstituante di Bandung, ia menyampaikan pidato penolakan gagasan Soekarno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin.

Setelah Konstituante dibubarkan pada bulan Juli 1959 dan Masyumi dibubarkan setahun kemudian. Hamka pun memusatkan kegiatannya dalam dakwah. Sebelum Masyumi di bubarkan, ia mendirikan majalah tengah bulanan bernama Panji Masyarakat yang menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr. Muhammad Hatta berjudul Demokrasi Kita yang mengritik konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, pada 1967, dan HAMKA menjadi pemlmpin umumnya hingga akhir hayatnya.

Sebelumnya, pada tanggal 27 Januari 1964, ulama dengan jasa yang besar pada negara ini ditangkap negaranya sendiri. Ia dijebloskan ke dalam penjara selama Orde Lama. Dalam tahan ini pula ia melahirkan karyanya yang monumental, yakni tafsir Al Azhar.
Ulama Berjiwa Independen

Sosok Hamka yang ramah, akrab dengan anak muda dan tiada jarak dengan segala lapisan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sejarah Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Hamka saat itu baru pindah ke Jakarta diminta saran oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI), manakah yang akan dibangun lebih dahulu, bangunan sekolah ataukah masjid, mengingat dana yang ada sangat terbatas?. Dia memberi saran, bangunlah masjid lebih dahulu!

Hamka kemudian sebagai pemimpin, khatib dan Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar yang pertama kali menggerakkan kegiatan masjid yang paling luas pengaruhnya di tanah air itu. Ceramah-ceramah subuh di Jakarta dipelopori oleh Masjid Agung Al-Azhar. Seperti diketahui dari sejarah, masjid Al-Azhar menjadi kubu pertahanan umat Islam terhadap Komunis/PKI yang hendak menguasai Indonesia sebelum lahirnya Orde Baru. Dari kompleks Masjid Agung Al-Azhar yang selesai dibangun tahun 1957 itu Hamka menggerakkan penerbitan majalah Gema Islam, dan memimpin majalah Panji Masyarakat sejak terbit hingga ditinggalkan untuk selamanya.

Hamka menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama tahun 1975 sampai 1981. Dia berhasil membangun citra MUI sebagai lem-baga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Hamka menolak mendapat gaji sebagai Ketua Umum MUI. Mantan Menteri Agama H.A. Mukti Ali mengatakan, “Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri.”

Dalam sejarah hidupnya kita membaca Hamka mengisi tempat yang penting di dalam perjuangan kemerdekaan nasional di Sumatera Barat. Selanjutnya tahun 1950-an dia aktif dalam Dewan Pimpinan Masyumi. Salah satu statement yang melukiskan muruah (martabat) sebagai pemimpin umat, antara lain tatkala politik menjadi “panglima” sekitar 1950-an, dia mengatakan, “Kursi-kursi banyak, dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi kursiku adalah buatanku sendiri.”

Sebagai pengawal akidah umat, Hamka sebagai Ketua Umum MUI, menyampaikan masukan kepa-da Presiden Soeharto mengenai persoalan Kristenisasi, dan sikap Presiden sejalan dengan pandangan MUI bahwa kalau hendak menciptakan kerukunan beragama, maka orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk propaganda agama yang lain.

Pada awal dekade 70-an Hamka mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-ghazwul fikri (penjajahan alam pikiran). Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam. Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik dalam berbagai bentuk gagal.

Di mata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) K.H.A.Syaikhu dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat, Hamka menempatkan dirinya tidak cuma sekedar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi Muhammadiyah saja, tetapi juga sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan.

Teguh Pada Prinsip dan Pemaaf

Tafsir Al-Quran yang diberi nama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama masjid Al-Azhar tempat Hamka selalu memberi kuliah subuh, adalah karya terbesar Buya Hamka di antara lebih dari 114 judul buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hingga hari ini.. Karya-karya Hamka mempunyai gaya bahasa tersendiri yang khas. Tafsir Al-Quran lengkap 30 juz itu disusun ketika dia berada dalam tahanan politik rezim Orde Lama selama 2 tahun lebih.

Kalau orang lain bebas dari tahanan politik mengeluarkan buku kecaman terhadap rezim penguasa. Tapi Hamka, keluar dari tahanan menghasilkan tafsir Al Quran. Malahan dia pun secara terbuka lewat tulisannya memaafkan semua orang yang pernah menyakitinya saat mereka berkuasa. Ketika mantan Presiden RI pertama Ir. Soekarno wafat 21 Juni 1970 Hamka bertindak sebagai imam shalat jenazahnya. Suatu akhlak mulia dan suri tauladan bagi bangsa Indonesia. 

Hamka pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1975. Pada masanya pula, MUI pernah mengeluarkan fatwa yang luar biasa, melarang perayaan Natal bersama. MUI didesak untuk mencabut kembali fatwa tersebut, namun Hamka menolakya. Ia lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya ketimbang harus mengorbankan akidah. Dia berhenti karena mempertahankan prinsip daripada mencabut peredaran Fatwa MUI yang menyatakan bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Allah SWT memanggilnya pada 24 Juli 1981. Ulama pejuang yang istiqomah ini dimakamkan di Tanah Kusir, diiringi doa segenap umat Islam yang mencintainya.
Ulama besar Hamka wafat di Jakarta 24 Juli 1981 (22 Ramadhan 1401 H) dalam usia 73 tahun.

Buya Hamka, seorang ulama, pemimpin, pujangga, pengarang, sejarawan, dan pendidik dalam arti yang luas sudah lama meninggalkan kita. Namun pengabdian, karya dan sumbangannya dalam membangun kesadaran umat Islam dan cita-cita bangsa tetap dikenang dan menjadi inspirasi bagi generasi masa kini. (Fuad Nasar).

Sumber
http://www.islamedia.web.id/2013/12/mengenal-lebih-dekat-hamka.html?m=1
http://ahlulbaitindonesia.org/berita/index.php/buya-hamka-biografi-sang-pembaharu/

No comments:

Post a Comment

No Sara No Anarki....
klik Select Profile ( pilih name/URL dan isilah namamu selengkapmu gan..)