Setidaknya, untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran Al
Quran, Allah SWT azza wa jalla tak segan menantang dengan jelas semua
makhluk untuk:
1. Menyusun yang semacam Al Quran secara keseluruhan
QS
Ath Thuur ayat 34 (QS 52:34): Maka hendaklah mereka mendatangkan
kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar
2. Menyusun sepuluh surat saja semacam Al Quran
QS
Huud ayat 13 (QS 11:13): Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah
membuat-buat Al Quran itu”. Katakanlah: “(Kalau demikian), maka
datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan
panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah,
jika kamu memang orang-orang yang benar”
3. Menyusun satu surat saja semacam Al Quran
QS
Yunuus ayat 38 (10:38): Atau (patutkah) mereka mengatakan “Muhammad
membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu),
maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah
siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah,
jika kamu orang yang benar.”
4. Menyusun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan salah satu surat dari Al Quran
QS
Al Baqarah ayat 23 (02:23): Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buatlah [1] satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
[1]
Ayat ini merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang
kebenaran Al Quran itu tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan
semua ahli sastera dan bahasa karena ia merupakan mukjizat Nabi Muhammad
s.a.w.
Di dalam Al Quran, sebagaimana
berbagai ciptaan Allah SWT dalam khazanah pembagian yang Kauniyah
(tersirat) dan yang Qauliyah (tersurat), maka sungguh terkandunglah
berbagai rahasia, makna, aturan, ilmu-pengetahuan, perjanjian, hukum,
bahkan insya Allah kekuatan rahasia, dan sebagainya yang kiranya tak
diketahui manusia; yang juga tersirat (dan bahkan tidak terlihat,
ghaib, atau belumlah lagi/tidaklah diketahui) maupun yang tersurat
(yang dapat terlihat jelas).
Berbagai hal itu, bahkan
baru dapat diungkapkan jauh berabad-abad setelah turunnya Al Quran, dan
bahkan hingga kini, masih banyak hal yang belum dapat ditafsirkan oleh
manusia dan jin dengan segala ilmu pengetahuan yang telah
didapatkannya. Jelas diterangkan bahwa ada ayat-ayat yangmutasyabihaat (memerlukan penafsiran dan penjelasan lebih lanjut) dan muhkamaat (sudah jelas):
QS
Aali Imraan ayat 7: Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada
kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat [1], itulah
pokok-pokok isi Al Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat [2].
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya
untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak
ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
[1] Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.
[2]
Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang
mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana
yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat
yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai
hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Adalah
mungkin saja, seseorang atau bahkan segolongan Manusia dan Jin,
membuat rangkaian syair berbahasa Arab, seindah yang dapat dibuatnya
dan kemudian dikatakannya pula sebagai ayat kitab suci, bahkan
dikatakannya adalah sebagai tandingan Al Quran.
Namun semua ini, tentulah adalah hanya kata-kata, dan bahkan kalaupun ada hikmah di dalamnya.
Apakah
ia atau mereka dapat kiranya menjamin bahwa apa yang mereka buat itu,
mengandung berbagai rahasia dunia-akhirat? Masa lalu dan masa depan?
Maka
mengenai ini, bahkan kepada para makhlukNya ini, Allah SWT tetap
menantangnya untuk membuat yang serupa, yang antara lain seperti jelas
tertera di ayat-ayat tersebut di atas.
QS Al
Israa’ ayat 38: Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak
akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.
QS Al Baqarah
ayat 24: Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) – dan pasti kamu
tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang
bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang
kafir.
QS An Nisaa’ ayat 82: Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
Marilah kita telaah lebih dalam.
Salah
satu fenomena yang menarik, dalam berbagai penurunannya/pewahyuan Al
Quran, seringkali pula berbagai ayat/surat dari Kitab Suci Al Quran
diturunkan/diwahyukan secara ’spontan’, secara ”sekonyong-konyong”,
”tiba-tiba” (yang dalam hal ini sesungguhnya adalah dalam ukuran
manusia, namun tidaklah demikian bagi Allah SWT sebenarnya), misalnya
untuk menjawab berbagai pertanyaan, berbagai serangan dari musuh-musuh
Islam saat itu, atau untuk mengomentari berbagai peristiwa, dan
sebagainya. Hal ini dapat ditelaah dengan jelas dalam berbagai kumpulan
kisah azbabun nuzul (sebab turunnya) berbagai ayat dan surat Al Quran,
setidaknya saja.
Dan contoh yang cukup mudah serta
populer adalah QS Surat Al ’Abasa, saat Rasulullah SAW ditegur karena
bersikap lebih ramah kepada tamunya yang berasal dari golongan pembesar
Quraisy, daripada tamunya yang lain yang berasal dari golongan
sederhana (bahkan di surat itu dilukiskan sebagai orang ’buta’, entah
benar-benar buta secara fisik, atau kiasan ’buta’ sebegaimana buta
sopan-santun, buta tata-cara pergaulan tingkat tinggi, dan sebagainya).
Juga
turunnya ayat langsung dalam menjawab doa-pertanyaan Rasulullah SAW
dan sahabat Umar bin Khatthab R.A., akan keharaman minuman keras/khamr
(yang saat itu adalah kegemaran bangsa Arab, bahkan bangsa Arab yang
telah menjadi muslim termasuk sahabat Rasulullah SAW, Umar bin Khatthab
R.A.) dalam QS Al Baqarah ayat 219 dan An Nisaa’ ayat 42 serta Al
Maaidah ayat 90-91.
Namun, walaupun berbagai ayat ini
turun dengan ‘tiba-tiba’, yang sungguh menakjubkan adalah bahwa setelah
keseluruhan ayat Al Quran selesai diturunkan dan kemudian dilakukan
penelitian terhadap berbagai hal berkaitan dengan/tentang Al Qur’an
ini, sungguh ditemukanlah sejumlah kenyataan yang menakjubkan, yang tak
mungkin dipikirkan, dirancang, dilakukan, diutarakan, dibuat oleh
seorang manusia (Rasulullah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib
SAW) bahkan bila dibantu oleh masyarakatnya ataupun dilanjutkan
bergenerasi sesudahnya yang sudah lebih maju pengetahuannya.
Misalnya,
tentang adanya berbagai rahasia/isyarat ilmu pengetahuan yang baru
dapat dibuktikan berabad-abad kemudian, tentang kisah-kisah sejarah,
tentang berita-berita ghaib (termasuk ramalan akan masa depan), tentang
keseimbangan-keteraturan susunan redaksional Al
Quran/keseimbangan-keteraturan susunan kata-katanya, dan sebagainya.
Semakin
pula lebih menakjubkan, mendukung ini semua, adalah bila disadari
kenyataan bahwa Rasulullah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib SAW
adalah seorang manusia yang ummiy/tidak dapat membaca dan menulis
(atau dalam bahasa Inggris: an illiterate person).
Dari siapakah kiranya Rasulullah SAW mendapatkan semuanya itu?
Tidakkah ini didapatkannya dari sebuah sumber Kecerdasan Yang Lebih Tinggi?
Lebih mudahnya, kita sebut saja sumber Kecerdasan Yang Lebih Tinggi itu sebagai, Tuhan?
Maka:
QS Al Baqarah 2: Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa
TIGA ASPEK PENDUKUNG KEOTENTIKAN AL QUR’AN
Dalam
hal ini, setidaknya saja ada tiga aspek kuat yang mendukung
keotentikan Al Quran al Karim, dan berikut ini adalah berbagai paparan
bukti dari berbagai aspek itu.
I. Aspek keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata yang digunakannya
Yang
pertama, adalah aspek keseimbangan yang sangat serasi antara kata-kata
yang digunakannya. Abdurrazaq Nafwal dalam buku/kitab ”Al-I’jaz
Al-Adabiy li Al Quran Al Karim” yang terdiri dari 3 jilid (terlepas
dari berbagai pendapat pro dan kontra atau skeptis tentang isinya dan
kemungkinan ketidaksempurnaan manusia penulisnya) mengemukakan berbagai
contoh tentang keseimbangan ini.
Ringkasannya adalah:
1. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya (lawan katanya)
”Al Hayah” (hidup) dan ”Al Mawt” (mati), masing-masing sebanyak 145 kali
”Al Naf’” (manfaat) dan ”Al Madharrah” (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali
”Al Har” (panas) dan ”Al Bard” (dingin) masing-masing sebanyak 4 kali
”Al Shalihat” (kebajikan) dan ”Al Sayyi’at” (keburukan) masing-masing sebanyak 167 kali
”Al Thuma’ninah” (kelapangan/ketenangan) dan ”Al Dhiq” (kesempitan/kekesalan) masing-masing sebanyak 13 kali
”Al Rahbah” (cemas/takut) dan ”Al Raghbah” (harap/ingin) masing-masing sebanyak 8 kali
”Al Kufr” (kekufuran) dan ”Al Iman” (iman) masing-masing sebanyak 17 kali dalam bentuk definite
”Kufr” (kekufuran) dan ”Iman” (iman) masing-masing sebanyak 8 kali dalam bentuk indefinite
”Al Shayf” (musim panas) dan ”Al Syita’” (musim dingin) masing-masing sebanyak 1 kali.
2. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya
”Al Harts” dan ”Al Zira’ah” (membajak/bertani) masing-masing sebanyak 14 kali
”Al ’Ushb” dan ”Al Dhurur” (membanggakan diri/angkuh) masing-masing sebanyak 27 kali
”Al Dhallun” dan ”Al Mawta” (orang sesat/mati jiwanya) masing-masing sebanyak 17 kali
”Al Qur’an”, ”Al Wahyu”, dan ”Al Islam” (Al Qur’an, wahyu, dan Islam) masing-masing sebanyak 70 kali
”Al ’Aql” dan ”Al Nur” (akal dan cahaya) masing-masing sebanyak 49 kali
”Al Jahr” dan ”Al ’Alaniyah” (nyata) masing-masing sebanyak 16 kali
3. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya
”Al Infaq” (infak) dan ”Al Ridha” (kerelaan) masing-masing sebanyak 73 kali
”Al Bukhl” (kekikiran) dan ”Al Hasarah” (penyesalan) masing-masing sebanyak 12 kali
”Al Kafiruun” (orang-orang kafir) dan ”Al Naar/Al Ahraq” (neraka/pembakaran) masing-masing sebanyak 154 kali
”Al Zakah” (zakat/penyucian) dan ”Al Barakat” (kebajikan yang banyak) masing-masing sebanyak 32 kali
”Al Fahisyah” (kekejian) dengan ”Al Ghadhb” (murka) masing-masing sebanyak 26 kali
4. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya
”Al Israf” (pemborosan) dan ”Al Sur’ah” (ketergesa-gesaan) masing-masing sebanyak 23 kali
”Al Maw’izhah” (nasihat/petuah) dan ”Al Lisan” (lidah) masing-masing sebanyak 25 kali
”Al Asra” (tawanan) dan ”Al Harb” (perang) masing-masing sebanyak 6 kali
”Al Salam” (kedamaian) dan ”Al Thayyibat” (kebajikan) masing-masing sebanyak 60 kali
5. Berbagai keseimbangan khusus
Kata
”Yawm” (hari) dalam bentuk tunggal, adalah sejumlah 365 kali (atau
adalah sama dengan jumlah hari-hari dalam satu tahun) di dalam Al
Qur’an.
Sedangkan kata ”hari” yang menunjuk kepada betuk
plural (”Ayyam”) atau dua (”Yawmayni”), jumlah keseluruhannya dalam Al
Quran adalah hanyalah 30 kali penyebutan, atau dalam hal ini adalah
juga sama dengan jumlah hari dalam satu Bulan dengan mengikuti kaidah
Kalender Qamariyah atau penanggalan sistem Bulan, sistem Islam/Arab.
Lalu,
kata yang berarti ”Bulan” (”Syahr”) hanya terdapat 12 kali, atau sama
dengan jumlah bilangan Bulan dalam satu tahun (12 Bulan) rotasi.
Ada
7 kali penjelasan tentang adanya 7 langit, yaitu antara lain dalam QS
Al Baqarah ayat 29, QS Al Isra’ ayat 44, QS Al Mu’minuun ayat 86, QS Al
Fushshilat ayat 12, QS At Thalaq ayat 12, QS Al Mulk ayat 3, QS Nuh
ayat 15.
Selain itu, penjelasan tentang penciptaan
langit dan bumi dalam enam (6) hari/masa/tahapan, disebutkan di dalam 7
ayat pula (dan tahapan terbentuknya sebuah galaksi-planet dalam enam
(6) tahapan yang memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun ini, telah
pula dibuktikan oleh ilmu-pengetahuan saat ini, bahwa memanglah secara
umum pembentukan galaki adalah dalam enam (6) tahapan, bahkan saat
inipun masih terbentuk Galaksi-galaksi baru, yang masing-masing dalam
(melalui) enam (6) tahapan, dalam ruang angkasa yang bahkan
memuai/meluas ini.
Angka 7 sendiri banyak sekali
ditemukan di alam semesta, di Al Quran & di Hadits Nabi Muhammad
bin Abdullah SAW. Bahkan pengulangan dari angka ini dalam Al Qur’an
juga memunculkan sebuah sistem yang koheren. Beberapa fenomena angka 7
tersebut adalah, antara lain:
1. Merupakan jumlah dari tingkatan langit & bumi (QS:65;12).
2. Atom tersusun dari 7 tingkatan elektron.
3. Jumlah hari dalam satu minggu.
4. Jenis atau jumlah tanda (not dasar) musik.
5. jenis atau jumlah warna-warni pelangi.
6. Jenis dosa besar (HR Al-Bukhari & Muslim).
7. Tanda bagi siksaan pada Hari Kiamat.
8. Jumlah ayat dalam Surah Al Fatihah (“Tujuh ayat yang diulang-ulang”).
9. Muslim bersujud dengan menggunakan 7 anggota badan dalam Shalat.
10. Muslim melakukan Thawaf sebanyak 7 kali dalam ritual Haji.
11. Muslim melakukan Sa’i antara Shafa & Marwah sebanyak 7 kali dalam ritual Haji..
12. Melempar jumrah sebanyak 7 kali dalam ritual Haji.
13. Dalam kisah Nabi Yusuf (Josef) AS banyak menyebut angka 7 (QS:12; 46-48).
14. Kisah siksaan kaum Nabi Hud (Hood) AS ditimpa angin topan selama 7 malam (QS:69;6-7).
15. Kisah Nabi Musa (Moses) AS memilih 70 orang dari kaumnya untuk bertobat (QS:17;155).
16. Kata Kiamat disebut dalam Alquran sebanyak 70 kali.
17. Kata “Jahannam” (Neraka) disebut dalam Alquran sebanyak 77 kali.
18. Jumlah pintu-pintu “Jahanam” adalah 7 (QS:15;44).
19. Terdapat 7 surah yang diawali dengan kalimat tasbih.
Sebagai
catatan pula, kata ”tujuh” (7) dalam Bahasa Arab juga dapat berarti
”banyak”, karena khazanah berpikir dan kebiasaan orang Arab lama/kuno
(misalnya, orang-orang Arab di masa-masa itu saat diturunkannya Al
Quran) yang menghitung jumlah tujuh (7) atau selebihnya, sebagai angka
perlambang yang menunjukkan jumlah banyak atau bahkan tak terhitung
(tak dapat dihitung) lagi (oleh mereka). Maka, sejumlah
mufassir/penafsir Al Quran dan/atau ahli ilmu pengetahuan pun
berspekulasi tentang telah disebutkannya tentang berbagai kenyataan akan
adanya tak terhitung planet dan galaksi di luar bumi dalam Al Quran,
dan bahkan kemungkinan adanya makhluk-makluk lain di alam semesta di
luar Bumi dan sistem Solar (matahari) kita ini.
Kata-kata
yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy
(nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi
peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang
dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita
tersebut, yakni 518 kali.
Berkaitan dengan dunia angka
dan huruf (atau kata), juga ditemui distribusi Matematika di Al Quran,
khususnya mengenai bilangan-bilangan prima dan beragam hubungan
luasnya, dan banyak sekali misteri dan fenomena angka juga kata di Al
Quran lainnya, di balik susunan, makna,dan kemungkinan-kemungkinannya
dan tata bahasa Arab sendiri (dan Bahasa Sastra Arab yang digunakan di
Al Quran) yang memang sudah luar-biasa itu.
II. Aspek bukti dari berbagai isyarat maupun pemberitaan ghaibnya
Lalu,
kedua, ada pula aspek bukti dari berbagai isyarat maupun pemberitaan
ghaibnya. Termasuk hal-hal yang pada masa diturunkannya Al Quran,
adalah masih ghaib, tidak diketahui, dan berkaitan dengan banyak hal
rumit.
Misalnya tentang berita tentang Fir’aun dan Nabi Musa AS, dan ditemukannya jenazah Fir’aun ini.
Maka
disebutkanlah di Al Quran bahwa Fir’aun yang mengejar-mengejar Nabi
Musa AS dan Bani Israil dalam perjalanan eksodus mereka keluar dari
penindasan kerja-paksa Mesir berabad-abad, akan diselamatkan tubuhnya
oleh Allah SWT, dan akan menjadi pelajaran bagi berbagai generasi
berikutnya:
QS Yunuus ayat 92: Maka pada hari ini Kami
selamatkan badanmu[1] supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang datang sesudahmu dan Sesungguhnya kebanyakan dari
manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.
[1]
Yang diselamatkan Allah ialah tubuh kasarnya, menurut sejarah, setelah
Fir’aun itu tenggelam mayatnya terdampar di pantai diketemukan oleh
orang-orang Mesir lalu dibalsem menjadi Mumi, sehingga utuh sampai
sekarang dan dapat dilihat di musium Mesir.
Maka,
menurut berbagai kesesuaian sejarah, Raja Mesir/Fir’aun yang dimaksud
di sini adalah Fir’aun Maniptah (Maneptah/Merneptah), anak dari Fir’aun
Ramses II (Fir’aun yang mengangkat Nabi Musa AS sebagai anaknya dan
juga menyiksa kaum Bani Israil), dan muminya ditemukan oleh Loret pada
sekitar awal abad XIX (tahun 1896) di Thebes/Luxor, Lembah Kuburan
Raja-raja Mesir (Wadi al Muluk). Setidaknya dua ahli telah meneliti
muminya, yaitu Elliot Smith dan DR. Maurice Bucaille (yang terakhir ini
kemudian menyatakan diri masuk Islam pada akhir penelitiannya, dan
bahkan menulis sebuah buku yang cukup menggemparkan, berjudul ”BIBEL,
QUR’AN & SAINS MODERN”, dan juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia), dan penelitian keduanya beserta keterangan dari Maspero
(seorang Perancis ahli ilmu Sejarah Mesir) sungguh menguatkan hal ini.
Di
dalam Injil sendiri, di bagian Keluaran pasal 13, 14, 28 dan di
Nyanyian (Psalm) 136 dari Daud, menguatkan pula bahwa, Fir’aun tersebut
disebutkan mati tenggelam dalam pengejarannya kepada kaum Bani Israil
yang sedang melakukan eksodus dari Mesir ke ‘Tanah Yang Dijanjikan’.
Bahkan di Mazmur Daud no 136 dalam ayat 15 dari orang Yahudi, jelas
menyebutkan pujian kepada “Tuhan yang telah membinasakan Fir’aun dan
tentaranya dalam laut yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan”, sebagaimana
kesesuaiannya pula dengan Kitab Keluaran (14, 28), “Air kembali pasang
dan menenggelamkan kereta-kereta serta para penunggang kuda dari tentara
Fir’aun yang telah masuk ke laut di belakang mereka (kelompok Yahudi).
Tak ada seorang pun yang tetap hidup”.
Namun perihal
diselamatkannya jasad Fir’aun itu, tidak disebutkan. Perihal ini, hanya
disebutkan di Al Quran. Dan janji Allah ini, serta diketemukannya
jasad Fir’aun itu, dikuatkan oleh ilmu-pengetahuan modern (atau lebih
tepatnya, pasca-modern, jika merujuk pada pembagian masa berdasarkan
sejarah Filsafat).
Yang paling penting kiranya dalam hal
ini adalah, bahwa seorang manusia yang tak dapat membaca dan menulis
dan hidup di tengah padang pasir Arab di Abad Ketujuh Masehi bernama
Muhammad bin Abdullah SAW, yang oleh umat Islam diakui sebagai Rasul
Tuhan terakhir dalam rangkaian para Rasul, Nabi, Utusan Tuhan; dalam
keseluruhan masa kehidupannya tidak diketahui (setidaknya tidak pula
ada bukti apapun berkenaan dengannya) bahwa beliau telah mengetahui
bahwa semua jenazah para Fir’aun yang kemungkinan adalah Fir’aun yang
dimaksudkan dalam kisah-kisah ini, disimpan di Luxor, baik sebelum atau
sesudah ayat-ayat ini diturunkan.
Umat manusia secara
umum pada waktu itu pun bahkan praktis tidak pula telah mengetahui
apa-apa tentang adanya berbagai bangunan Pyramid itu, yang terpendam di
dalam Sahara bermeter-meter dalamnya, sejak ribuan tahun sebelumnya,
walaupun berada dekat sungai Nil yang ramai dilalui lalu-lintas
perhubungan air. Barulah berabad-abad kemudian, pada abad XIX Masehi,
berabad-abad setelah Al Qur’an diturunkan kepada alam semesta, ras
manusia berhasil menemukannya melalui suatu ekspedisi Arkeologi Modern.
Sementara kenyataan bahwa jenazah Fir’aun Maneptah ini akan ditemukan,
telah disebutkan di Al Qur’an, berabad-abad sebelum jenazah/mumi itu
ditemukan.
Dan sekarang, jenazah Fir’aun Maneptah
akhirnya disimpan di Museum Mesir di Kairo di ruang Muminya, serta
dapat dilihat oleh siapapun. Yang dapat ditarik kesimpulan dari
penelaahan terhadap kondisinya, adalah adanya kerusakan tulang dan
hilangnya substansi penting sebagian dari mumi Maneptah itu yang sangat
fatal, walaupun memang belum dapat dipastikan apakah hal-hal tersebut
terjadi setelah, atau sebelum matinya Fir’aun Maneptah ini (menurut
riwayat kitab suci, Fir’aun meninggal karena
tenggelam/trauma/keduanya).
III. Aspek adanya berita-berita atau isyarat-isyarat ilmiah dari Al Qur’an.
1. Misalnya dalam dunia Astronomi, tentang sumber cahaya Matahari dan Bulan yang berbeda
QS
Yunuus ayat 5: Dialah yang menjadikan Matahari bersinar (bersumber
dari dirinya sendiri) dan Bulan bercahaya (memantulkan dari cahaya
Matahari) dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan Bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan
dengan hak/benar [1]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang mengetahui.
Maka, Matahari adalah cahaya (diya’) dan Bulan adalah sebagai pelita (nur)
Manusia
dengan tingkat pengetahuan sederhana pada jaman Rasulullah SAW, dapat
dengan mudah menerima perbandingan sederhana antara Matahari dan Bulan
ini, dengan kalimat-kalimat sederhana ini.
Namun
kalimat—kalimat sederhana inipun dapat berarti dalam di lingkungan
ilmu-pengetahuan, dapat diterima oleh bahkan para ahli ilmu-pengetahuan
bahkan di luar komunitas Rasulullah SAW dan yang hidup berabad-abad
kemudian, yang sangat senang mengunakan ilmu-pengetahuan sains
modern/posmodern untuk memahami segala sesuatu.
Inilah
juga yang sangat menarik dan perlu dicatat di sini, tentang adanya
suatu keagungan perbandingan, dan tidak adanya dalam Al Quran perbedaan
makna perbandingan berkaitan dengan adanya perubahan jaman, yang
mungkin menunjukkan keagungannya pada waktu Al Qur’an turun, namun yang
pada saat ini hanyalah dapat dipandang sebagai khayalan tidak ilmiah
belaka, sebagaimana dapat dan telah terjadi pada kitab-kitab
sebelumnya.
Ayatnya :QS Nuh ayat 15-16: Tidakkah kamu
perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit
bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya Bulan sebagai cahaya
dan menjadikan Matahari sebagai pelita?
2. Atau juga tentang orbit Matahari dan Bulan
QS
Al Anbiyaa ayat 33: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang,
Matahari dan Bulan, masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam
garis edarnya.
Kata ”Yasbahuun” dalam ayat ini, berasal
dari kata ”sabaha” yang makna kata secara tradisionalnya adalah
”gerakan dari sesuatu yang bergerak”, yang dalam hal ini, dalam
kaitannya dalam kaidah ilmu ruang angkasa ini, adalah tentang
penggambaran pergerakan/rotasi dirinya (planet Bulan dan Matahari itu)
dalam aksisnya sendiri.
Sebagai informasi-informasi
tambahan dari disiplin ilmu Astronomi dan Sejarah serta Kekristenan,
saat ini manusia sudah jamak mengetahui bahwa Matahari membutuhkan 25
hari untuk menuntaskan rotasinya dan Bumi mengelilingi Matahari. Namun
baru pada tahun 1512 Masaehi, Nicolaus Copernicus mengemukakan Teori
Heliosentrisnya tentang letak Matahari yang dikelilingi planet yang
bergerak dalam jalurnya masing-masing, dan saat itu pengumuman temuan
ini ditentang habis-habisan oleh Gereja, juga menjadikan Copernicus
dikucilkan, bahkan sebagian kalangan menyebutkan bahwa ia dikafirkan
mereka.
Barulah pada abad-abad modern ini, sekitar 500
tahun kemudian, Vatikan kemudian bersedia mengakui kebenaran teori
Copernicus dan kesalahan klaim Gereja berdasarkan Injil itu, yang
memaknakan bahwa Mataharilah yang bergerak mengelilingi Bumi (antara
lain di Joshua 10:12-13), bukan sebaliknya, yang jelas sangat
bertentangan dengan ilmu-pengetahuan.
Sebagai pendukung
materi pembahasannya, berikut adalah sebuah kutipan dari Injil versi
internasional (King James Version) dan komentar tentang kesalahannnya
yang dikutip dari sebuah situs tentangnya, yang bernama ”The Dark
Bible” (dengan alamat http://www.nobeliefs.com/darkbible/darkbible/
), sebuah situs yang mengupas tentang berbagai kesalahan dan
ketidakmasukakalan Injil. Pembuat situs ini adalah Jim Walker, seorang
Barat yang Atheis (orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan) yang
dulunya penganut agama Kristen.
Heliocentric Vs Geocentric?
The Sun Stands Still
“Then
spake Joshua to the LORD in the day when the LORD delivered up the
Amorites before the children of Israel, and he said in the sight of
Israel, Sun, stand thou still upon Gibeon; and thou, Moon, in the valley
of Ajalon. And the sun stood still, and the moon stayed, until the
people had avenged themselves upon their enemies. Is not this written in
the book of Jasher? So the sun stood still in the midst of heaven, and
hasted not to go down about a whole day.” (Joshua 10:12-13)
Comment:
These verses imply that the sun moves around the earth.
If
the Bible actually represents the words or inspired words of God, then
why didn’t the Great Creator inspire them to tell the truth about the
universe and our solar system?
Also, the Bible asks us to believe
that a supposedly loving God made the sun stand still for the sole
purpose of helping the Israelites slaughter the Amorites.
How
can one not see that these verses would insult the intelligence of any
person who believes God possess wisdom, knowledge and love?
Maka, beberapa hal dalam Injil ini, sangat bertentangan dengan ilmu-pengetahuan, dan dengan Al Quran.
3.
Atau tentang tidak bercampurnya air laut yang asin dengan air
sungai-sungai besar, misalnya yang terjadi di muara, dan bahkan antara
dua aliran air laut.
Ini dapat ditemukan di berbagai belahan dunia. Pencampuran keduanya pun tidaklah terlaksana seketika melainkan memerlukan waktu.
QS
Al Furqaan ayat 53: Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir
(berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi
pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang
menghalangi.
QS Ar Rahmaan ayat 19-22: Dia membiarkan
dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada
batas yang tidak dilampaui masing-masing (*) Maka nikmat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan
marjan.
[*] Di antara ahli tafsir ada yang berpendapat
bahwa makna ”la yabghiyan” maksudnya adalah bahwa ”masing-masing, tidak
menghendaki”. Dengan demikian, maka maksud dari ayat 19-20 adalah
bahwa terdapat dua (jenis) laut yang keduanya ’terceraikan’ karena
dibatasi oleh tanah genting, tetapi tanah genting itu tidaklah
dikehendaki atau tidak diperlukan. Maka akhirnya, tanah genting itu
dibuang (digali untuk keperluan lalu lintas), dan bertemulah dua lautan
itu, seperti misalnya yang terjadi pada terusan Suez dan terusan
Panama.
Dan lain-lain ayat serupa.
4. Tentang api di dasar laut
QS Ath Thuur ayat 6 (52:6): Dan laut yang di dalam tanahnya ada api.
Ayat
diatas, diartikan beragam, misalnya oleh Prof Dr Quraish Shihab Ulama
Indonesia terkenal dalam bukunya tafsir al Mishbah hanya disebutkan
“dan laut (bahri) yang bergelombang (masjuur)”, sedangkan pada al
Qur’an Terjemah Indonesia yang disusun Tim Disbintalad tahun 1996
diartikan lebih lengkap “ Laut yang mendidih dan bergelombang”. Lebih
khusus adalah arti pada Al Qur’an Dan Terjemahnya dari Yayasan Kerajaan
Saudi Arabia di Medinah tahun 1990, diterjemahkan “ dan Laut yang
tanahnya ada api”. Demikian juga berbeda, pada buku The Holy Qur’an
edisi bahasa Inggris. Abdullah Yusuf Ali menterjemahkan sangat
sederhana “ And by the Ocean Filled with Swell” atau “ Dan samudera yang
dipenuhi oleh gelombang ”, Disini laut menjadi samudera – tapi tidak
apa-apa, karena karakternya serupa. Sedangkan John Medows Rodwell
(dikenal sebagai penterjemah pertama kedalam bahasa Inggris) pada The
Koran edisi 1971 – banyak dijual di bandara-bandara Internasional –
menterjemahkan dengan kalimat “ And by the swollen Sea”.
Prof
Dr Quraish Shihabpun yang ahli bahasa Arab sebenarnya telah
menjelaskan, bahwa arti kata “masjuur” ada dua pengertian: (1)
Bergelombang dan (2) Tanah berapi atau kobaran api. Dengan demikian,
seharusnya lebih spesifik bermakna “ ada kobaran api dasar laut atau
samudera” atau “ tanah berapi didasar laut”. Namun karena ini tidak
umum, barangkali dianggap aneh dan sulit untuk dijelaskan kepada pembaca
maka beliau lebih suka dengan kalimat terjemahan “ dan Laut yang penuh
gelombang”. Tidak ada makna apa-apa selain menjelaskan apa yang biasa
dilihat di laut atau samudera, gelombang air yang besar.
Namun
demikian para penafsir lain, tidak puas dengan hanya “bergelombang”
dan “kobaran api”, oleh karena itu dapat dipahami jika ditemukan
beberapa penjelasan antara lain:
(1) Fenomena itu adalah
fenomena pada saat terjadinya Kiamat (as sa’ah), dihubungkan dengan
keterangan ayat-ayat lain, misalnya pada surat at Takwiir
(Menggulung/Padam) yaitu “ Dan apabila laut diluapkan (sujjirat)”. (Qs,
086:006)
(2) Penafsir klasik atau bahkan sejumlah guru
agama di Indonesia menyimpulkan, dengan dasar keterangan Kitab Mulia
tadi – bahwa lokasi Neraka mungkin di bawah laut, atau didasar Bumi.
Bisa dipahami, cara berpikirnya, karena ada kobaran api didasar
samudera/laut, tentunya, lokasi tersebut Neraka.
Bagaimanapun
juga, sebagian ilmuwan Muslim dunia pada akhir abad ke-20 tidak puas
dengan keterangan tersebut, karena cukup jelas artinya “ada kobaran api
didasar Samudera” atau “ ada lokasi dimana tanahnya berapi didasar
Samudera”. Dengan demikian, memang yang dimaksud dengan “masjuur”
adalah “tanah berapi” atau “kobaran api” didasar samudera/laut, yang
memang mungkin ada di dalam (atau di dasar) lautan.
5. Atau tentang Reproduksi manusia itu sendiri
QS
Al Hajj ayat 5: Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah
menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
’segumpal darah’/’sesuatu yang melekat’, kemudian dari segumpal daging
yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan
kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki
sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai
bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di
antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah.
Lalu, setidaknya, kata ”Al
’Alaq” seperti di ayat ini disebutkan dalam 4 ayat lain yang
membicarakan transformasi urut-urutan reproduksi manusia sejak tahap
setetes sperma:
QS Al Mu’minuun ayat 14: Kemudian air
mani itu Kami jadikan Al ’Alaq, lalu itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang
paling baik.
QS Al Mu’miin ayat 67: Dialah yang
menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu
dari Al ’Alaq, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak,
kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa
(dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara
kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya
kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).
QS
Al Qiyaamah ayat 37-38: Bukankah Dia dahulu setetes mani yang
ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi Al ’Alaq, lalu
Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya,
Maka,
khusus perihal kata ”Al ’Alaq” ini, secara tradisional, penerjemahan
Al Qur’an kuno/tradisional, seringkali kata ini ditafsirkan/diartikan
saja sebagai ”segumpal darah” oleh berbagai mufassir/penafsir. Dan ini
jamak dijumpai di berbagai terjemahan bahkan tafsir Al Qur’an di
seluruh dunia.
Jika kata itu mutlak diartikan “segumpal
darah”, hal ini tidak masuk akal karena tidak pula sesuai dengan ilmu
pengetahuan tentang proses reproduksi manusia. Mengapa? Karena
sesunguhnya ilmu pengetahuan reproduksi manusia mengkonfirmasikan bahwa
tidaklah pernah manusia tercipta melalui tahapan ’gumpalan darah’,
dalam rangkaian tahap reproduksinya.
Maka, derajat
keotentikan Al Quran dalam hal ini pun (jika tetap memakai terjemahan
kata ”segumpal darah”) jelas telah gugur, dan manusia serta makhluk
lain yang membaca Al Qur’an dapatlah saja menjadi kafir bahkan murtad
karenanya, karena menganggap penciptaan manusia yang demikian, tidak
sesuai dengan ilmu-pengetahuan.
Jika memang benar
demikian, ini BERBAHAYA, dan sekaligus tentu saja tidak sepatutnya,
karena Al Qur’an adalah dari Tuhan Semesta Alam.
Namun, Tuhan Semesta Alam lah yang memang menjaganya. Dan Al Quran tentu saja tetap benar sebagai petunjuk sepanjang jaman.
Penjelasannya,
jika kita menilik kepada ilmu reproduksi ini sendiri, ternyata
menetapnya telur dalam rahim, terjadi karena tumbuhnya jonjot
(villosities) atau perpanjangan telur yang akan mengisap dari dinding
rahim, zat yang diperlukan untuk membesarnya telur, seperti layaknya
akar tumbuhan yang masuk ke tanah. Pertumbuhan semacam ini mengokohkan
telur dalam rahim.
Atau, ketika sperma dari laki-laki
bergabung dengan sel telur wanita, intisari bayi yang akan lahir
terbentuk. Sel tunggal yang dikenal sebagai “zigot” dalam ilmu biologi
ini akan segera berkembang biak dengan membelah diri hingga akhirnya
menjadi “segumpal daging”. Tentu saja hal ini hanya dapat dilihat oleh
manusia dengan bantuan mikroskop.
Namun, zigot tersebut
tidak melewatkan tahap pertumbuhannya begitu saja. Ia melekat pada
dinding rahim seperti akar yang kokoh menancap di bumi dengan
carangnya. Melalui hubungan semacam ini, zigot mampu mendapatkan
zat-zat penting dari tubuh sang ibu bagi pertumbuhannya. (Moore, Keith
L., E. Marshall Johnson, T. V. N. Persaud, Gerald C. Goeringer,
Abdul-Majeed A. Zindani, and Mustafa A. Ahmed, 1992, Human Development
as Described in the Qur’an and Sunnah, Makkah, Commission on Scientific
Signs of the Qur’an and Sunnah, s. 36)
Inilah yang layak disebut, diterjemahkan korelatif sebagai ”sesuatu yang melekat” (Al ’Alaq).
Makna
yang lebih tepat dari kata ”Al Alaq” karenanya adalah, ”sesuatu yang
melekat”, yang, saat manusia belum dapat mengetahui jalannya proses
reproduksi (manusia) ini, pemakaian kata ”sesuatu yang melekat”
daripada kata ”segumpal darah”, terlihat lebih tidak masuk akal bagi
para mufassir tradisional; padahal sesungguhnya justru sebaliknya. Dan
sekali lagi, pengetahuan manusia tentang ini baru didapatkan manusia
pada jaman modern, berabad-abad sesudah Al Quran diturunkan.
Tidaklah
mengherankan kiranya, betapa banyak para penerjemah tradisional yang
sewajarnya tidak (banyak) mengetahui kaidah ilmu kedokteran, secara
mudahnya menerjemahkan kata ”Al ’Alaq” ini sebagai ”segumpal darah”
saja, dalam ayat-ayat itu. Penerjemahan seperti itu, terlihat cukup
masuk akal di saat itu, mereka sungguh telah berusaha sebaik-baiknya
dengan segala pengetahuan yang mereka miliki, dan tentulah kesalahan
manusiawi ini dapatlah dimaafkan, tinggal bagaimana sebaiknya ke depan.
Tidaklah
mengherankan kiranya, betapa berabad-abad lalu, banyak para penerjemah
dan mufassir (penafsir) tradisional yang sewajarnya tidak (banyak)
mengetahui kaidah ilmu kedokteran, secara mudahnya menerjemahkan kata
”Al ’Alaq” ini sebagai ”segumpal darah” saja, dalam ayat-ayat itu.
Penerjemahan
seperti itu, terlihat cukup masuk akal di saat itu, mereka sungguh
telah berusaha sebaik-baiknya dengan segala pengetahuan yang mereka
miliki, tentulah kesalahan manusiawi ini dapat dimaafkan, tinggal
bagaimana baiknya ke depan.
Dan bagaimanapun tafsirnya, Al Quran tetap tuntunan kehidupan terbaik dari Sang Pencipta Alam.
Dan
di antara faktor rumitnya memahami maksud sesungguhnya dari Al Quran,
adalah bahwa setidaknya saja para penerjemah atau mufassir (penafsir),
memiliki pengetahuan di bawah ini dalam menafsirkannya:
1. Ilmu Lugath (filologi), yaitu ilmu untuk mengetahui arti setiap kata
2.
Ilmu Nahwu (tata bahasa), yaitu ilmu tata bahasa, misalnya mengetahui
alternatif i’rab (bacaan akhir kata) dari setiap kata atau kalimat,
karena i’rab yang berbeda akan mempengaruhi artinya
3.
Ilmu Sharf (perubahan bentuk kata). Sangat pentinglah mengetahui ini,
karena perubahan sedikit bentuk kata akan mengubah arti kata tersebut.
4. Ketiga ilmu di bawah ini digolongkan cabang ilmu Balaghah yang sangat penting diketahui para ahli tafsir:
a. Ilmu Ma’ani (hakikat makna dari suatu kata). Dengan mengetahui hakikat maknanya, maksud dari suatu ayat dapat diketahui.
b. Ilmu Bayaan. Ilmu yang mempelajari kelugasan dalam untaian kata atau kalimat.
c. Ilmu Badi’. Ilmu yang mempelajari keindahan bahasa.
5.
Ilmu Qira’at. Sebagaimana diketahui, Al Quran diturunkan oleh Allah
dalam tujuh huruf (sab’ati Ahruf). Para ulama menguraikan, bahwa hal
ini adalah keragaman cara baca Al Quran yang semuanya bersumber dari
Nabi SAW. Setiap cara membaca ini, satu dan lainnya saling melengkapi.
Dan ini merupakan mukjizat tersendiri dari Al Quran .
6. Ilmu Aqa’id. Ilmu yang mempelajari dasar-dasar keimanan.
7. Ilmu Ushul Fiqih. Dengan ilmu ini dapat diambil dalil serta penggalian hukum dari suatu ayat.
8.
Ilmu Asbabun-Nuzul. Ilmu untuk menguraikan tentang sebab-sebab
turunnya suatu ayat. Pengetahuan tentang asbabun-nuzul suatu ayat akan
sangat membantu dalam memahami kandungan dan maksud dari ayat tersebut.
9. Ilmu Nasikh Mansukh. Dengan ilmu ini dapat dipelajari suatu hukum yang sudah dihapus dan hukum yang masih berlaku.
10. Ilmu Fiqih. Dengan mengetahui hukum-hukum yang rinci akan mudah diketahui hukum globalnya.
11. Ilmu Hadits. Ilmu untuk mengetahui Hadits-hadits yang menafsirkan ayat-ayat Al Quran .
Khusus
sedikit mengenai buku ”Al Quran Bible dan Sains Modern” (ditulis oleh
DR Maurice Bucaille dan adalah sebuah best-seller, serta sudah
diterjemahkan ke bahasa Indonesia), di dalam buku ini juga dimuat
kritik terhadap cara dan hasil penerjemahan Al Qur’an sendiri yang dapat
menjadikannya bermakna sempit dan kehilangan banyak keagungan,
kebenaran dan keindahannya (dan juga sebagai akibat dari penyebaran
kaidah-kaidah Islam yang tidak dilakukan dengan baik). Hal ini
menurutnya dapat terjadi karena kurangnya pemahaman etimologi bahasa dan
ilmu pengetahuan ilmu serta teknologi dari para penerjemahnya; dan
kemudian menyebabkan ‘reaksi berantai’ penyampaian isinya yang juga
‘terdistorsi’, menjadi terganggu.
Contoh lebih jelasnya
adalah, seseorang insya Allah SWT akan dapat dengan tepat mengungkapkan
kandungan kebenaran ilmu kedokteran dan manusia di dalam Al Quran bila
ia mengetahui dengan baik makna dan aturan etimologi bahasa Arab
tersebut, sekaligus kaidah-kaidah ilmu kedokteran. Hal yang sama juga
berlaku terhadap pengajian (interpretasi) ayat-ayat Al Quran yang
berkenaan dengan berbagai macam ilmu-pengetahuan/sains lain, seperti
astronomi, fisika, biologi, kimia, ekonomi, hukum, dan sebagainya.
Maka, dasar-dasar pengetahuan itu tentu sebaiknya juga harus dimiliki
bila hendak mengetahui dan menerangkan kaidah ilmu-ilmu yang terkandung
dalam Al Furqan.
Hal-hal ini semua tak mungkin kiranya
dimiliki banyak penerjemah Al Qur’an secara perseorangan, yang setiap
orang dituntut harus menguasai sedemikian banyak ilmu pengetahuan yang
terkandung dalam Al Qur’an agar dapat benar-benar menerjemahkannya
sesuai maksud aslinya, selain pengetahuan bahasa Arab sendiri yang
sudah cukup rumit tata bahasanya.
Akhirnya, antara lain
dengan menyadari hal-hal ini berdasarkan hidayah (pencerahan atau wahyu
dari) Allah SWT, DR. Maurice Bucaille pengarang buku tersebut,
kemudian menjadi muslim/mualaf dengan suka rela, dan lalu aktif menjadi
da’i (pendakwah) internasional. Bahkan pada beberapa tahun silam, seri
rekaman acara dakwah yang menghadirkan dirinya hampir tiap malam
ditayangkan di Indonesia melalui stasiun TV Indonesia, TPI, di
larut-larut malam.
Maka di sini pulalah perlunya untuk
berjama’ah, berorganisasi, dan dengan sendirinya melakukan manajemen
yang baik dalam melakukan kebaikan (dan dalam hal ini adalah dalam
melakukan penerjemahan dan penafsiran ini agar dapat benar-benar
mengetahui dan mendapatkan nikmat Allah SWT di tahap-tahap berikutnya).
Berjama’ah
dalam kebaikan itu, tentu saja adalah sunnatullah sebagaimana
disebutkan di QS Ash Shaff, khususnya ayat 4. Sahabat, ipar, dan
menantu Rasululullah SAW, sang Khalifah Keempat Ali bin Abi Thalib R.A.
juga berkata, ”Kejahatan yang diorganisasikan dengan baik, akan dapat
mengalahkan kebaikan yang tidak diorganisasikan dengan baik”.
Maka
pantas pulalah kiranya bila para penerjemah-penafsir yang mengerti
ilmu Kedokteran harus menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan
ilmu Kedokteran dengan mengkorelasikannya dengan segala kaidah ilmu
kedokteran sesuai keahliannya, para penerjemah-penafsir yang mengerti
ilmu Fisika harus menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu
kedokteran dengan mengkorelasikannya dengan segala kaidah ilmu Fisika
sesuai keahliannya; demikianlah seterusnya berkenaan dengan berbagai
ilmu-pengetahuan sains dan teknologi lain yang ada di dalam kendungan
Al Qur’an, sehingga dapatlah didapatkan suatu gambaran yang menyeluruh,
tentang apapun yang dimaksudkan oleh Kitab Suci ini. Dan bahkan di
masa lalu, tak jarang para ahli ilmu-pengetahuan justru mendapatkan
inspirasi untuk suatu titik kemajuan ilmu-pengetahuan baru, bahkan
titik berhenti etisnya, setelah menelaah Al Qur’an dan berbagai hal
berkaitan.
Maka penafsiran itu sendiri, seiring dengan
perkembangan jaman dan kemajuan ilmu-pengetahuan manusia, tentu saja
juga harus diperbarui setiap kali atau secara berkala, dicocokkan,
dikorelasikan dengan segala perkembangan ilmu-pengetahuan; setidaknya
karena ayat-ayat Allah tidaklah hanya yang Qauliyah (tertulis) namun
juga yang Kauniyah (tidak tertulis/terhampar luas di alam semesta,
dalam berbagai ilmu pengetahuan).
Keduanya, tentu saja,
seharusnya, sewajarnya, adalah saling menguatkan, karena berasal dari
Tuhan yang sama, Tuhan Semesta Alam, dalam sistem Manajemen Fitrahi
Beliau. Jika tidak, maka Keduanya, tentu saja, seharusnya, sewajarnya,
salah satu darinya adalah palsu.
Kemudian Bahasa Arab
yang mempunyai kekayaan makna yang banyak untuk satu kata, sehubungan
dengan ini semua, selain dapat menjadi sebab kesalahan pengartian,
justru juga dapat menjadi kunci kekayaan pesan ilmu pengetahuan dan
berbagai kemungkinan penafsirannya, yang satu sama lain dapat mempunyai
keistimewaan sendiri, fleksibel bahkan seiring dengan perkembangan
kemampuan berpikir/ilmu-pengetahuan manusia dan jin, serta saling
mendukung; dalam sistem besar Allah SWT dalam Manajemen Fitrahinya ini.
Sementara sebagaimana telah pula diperintahkan dalam Al Qur’an tentang
pernyataan Allah SWT bahwa manusia tak mungkin dapat menembus dan
menggunakan rahasia langit dan bumi kecuali dengan ilmu pengetahuan
(sulthan, QS Ar Rahmaan), penyelarasan hubungan antara agama dan
ilmu-pengetahuan kemudian membentuk suatu hubungan yang istimewa dan
saling menguatkan serta bersintesa sehingga penafsiran kata-kata Al
Qur’an pun menjadi sedemikian lebih kaya arti. Wallahu ’alam bis sawaab.
Menurut
saya, ini pulalah kiranya salah satu hikmah maksud penyampaian Islam
dan Al Qur’an dalam bahasa Arab, selain memang disampaikan melalui umat
Bani Arab (yang tentu saja pada dasarnya berbahasa Arab) yang juga
merupakan keturunan Nabi Ibrahim AS selain Bani Israil yang melalui
mereka telah diutuskan banyak Nabi dan Rasul, dengan alasan-alasan yang
hanya Allah SWT yang lebih mengetahuinya.
Maka, sangat
penting menaati Allah SWT dan Rasulnya, karena yang diturunkan Allah
SWT kepada manusia dan jin, seluruh makhluk, seluruh alam semesta,
adalah rangkaian dari pesan yang satu:
QS Al
Mu’miin ayat 52: Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu
semua, agama yang satu [*], dan aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah
kepada-Ku.
[*] Lihat juga QS Al Anbiya 92:
QS
Al Anbiyaa ayat 92: Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu
semua; agama yang satu [#] dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah aku.
[#] Maksudnya: sama dalam pokok kepercayaan dan Syari’at.
QS
Al Baqarah ayat 136: Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami
beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang
diturunkan kepada Ibrahim (Abraham) , Isma’il (Ishmael), Ishaq (Isaac),
Ya’qub (Jacob/Israel) dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada
Musa (Moses) dan Isa (Jesus) serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi
dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan
kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.
QS Al
Baqarah 208: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
(Sistem Manajemen) Islam (secara) keseluruhan (total, tidak
setengah-setengah dengan istiqomah dan konsekuen agar tidak bermasalah),
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan
itu musuh yang nyata bagimu.
QS Al Baqarah
256: TIDAK ADA paksaan untuk (memasuki) agama (sistem Manajemen Islam),
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat,
karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [162] dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali
yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.
[162] Thaghut ialah Syaithan dan apa saja yang disembah, diikuti cara-caranya, pemikirannya, selain dari Allah SWT
QS
Ash Shaff 2-4: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di
sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang
tersusun kokoh ( = DENGAN MANAJEMEN & BERSAMA-SAMA).
QS
Asy Syuaraa ayat 13: Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama
apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa
dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama [*] dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).
[*] Yang dimaksud: agama di sini
ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan
larangan-Nya.
QS Al Hijr ayat 10-11: Dan
Sesungguhnya Kami telah mengutus (Beberapa Rasul) sebelum kamu kepada
umat-umat yang terdahulu. Dan tidak datang seorang Rasulpun kepada
mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.
Sesungguhnya
bermula datangnya Islam dianggap asing (aneh) dan akan datang kembali
asing. Namun berbahagialah orang-orang asing itu. Para sahabat bertanya
kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud orang asing
(aneh) itu?” Lalu Rasulullah menjawab, “Orang yang melakukan
kebaikan-kebaikan di saat orang-orang melakukan pengrusakan.”(HR.
Muslim)
Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat
baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka
Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara
kamu, kemudian (ada) orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdo’a
dan tidak dikabulkanlah (do’a mereka). (HR. Abu Zar)
Barangsiapa
ingin agar do’anya terkabul dan kesulitan-kesulitannya teratasi
hendaklah dia menolong orang yang dalam kesempitan. (HR. Ahmad)
Bila
orang-orang melihat seorang yang zalim tapi mereka tidak mencegahnya
dikhawatirkan Allah akan menimpakan hukuman terhadap mereka semua. (HR.
Abu Dawud)
TELAAH KOMPREHENSIF
Lalu
dengan telaah Analisa Sistemik, Antropologi, Sejarah, Filsafat, dan
Manajemen saja; diketahui banyak manusia telah pula (terlanjur) percaya
berbagai pemikiran manusia (dari Barat), yang ternyata berubah-ubah
intinya.
Setidaknya sejak Filsafat Sofistik Yunani Kuno
sebelum Masehi (bertokohkan Thales, Zeno, Socrates, Plato, Aristoteles;
selain Ilmuwan-Filsuf Pythagoras, Ptolemeus, Hipocrates, Euclides,
dsb.) yang walaupun berbenih cara berpikir kritis namun yakin bahwa
”Kebenaran itu relatif” bergantung pemikirnya (misalnya perdebatan
tentang inti alam semesta antara mereka); kiranya karena tak cukup
ilmu-pengetahuan masanya sebagai tolak-ukur (pembanding).
Berlanjut
ke Filsafat Abad Pertengahan (sekitar Abad V-XIV Masehi) bertokohkan
Plotinus, Augustinus, Anselmus, Grosseteste, (Roger) Bacon, dsb.;
didominasi oknum Gerejawan-Monarki Kerajaan Barat dengan motto Credo et
intelligam atau ”Iman-keyakinan mutlak berada di atas pemikiran” yang
percaya mutlak-dogmatis ‘rasa hati’ dan agama (Barat saat itu) tanpa
boleh dikritik. Ini juga membuat kedudukan (kesejahteraan) oknum
ningrat Monarki dan Gerejawan menjadi sangat tinggi sebagai pemegang
mandat Otokrasi, tanpa mudah dikritik (bahkan semena-mena bagi
sementara orang), dan pemikiran ilmu-pengetahuan berkembang lambat
serta bukan sebagai tolak-ukur.
Ini dilawan Masa
Renaissance sekitar Abad XIV-XVII Masehi (dari kata-kata Bahasa
Perancis ”Re-Nasci” berarti ”kelahiran kembali” saat Barat menyadari
dan berusaha mengejar ketertinggalannya daripada kegemilangan peradaban
Timur/dunia Islam saat itu) dan juga Filsafat Masa Modern (masa
selanjutnya hingga Abad XX Masehi) dengan dasar Filsafat Rasionalisme.
Dan Reformasi Gereja pun terjadi, menghasilkan pemisahan Kristen
menjadi Katolik dan Protestan.
Rasio atau Logika
(semata-mata) adalah dasar dari Filsafat Modern ini, yang bermottokan
”Cogito ergo sum” atau ”aku (justru) ada (hidup) karena aku berpikir”
(maka ”Semua harus diragukan dan dibuktikan akal-rasio logika dulu baru
dapat dipercayai dan yang tak masuk akal, termasuk agama dab
keberadaan Tuhan, adalah dapat absurd”), bertokohkan Descartes,
Voltaire, Von Leibniz, Fichte, Schelling, (Francis) Bacon, Pascal,
Kant, Hume, James, Kierkegaard, Sartre, bahkan Isaac Newton dan Thomas
Aquinas, dsb. Menurut mereka, ini adaah ‘reaksi pembalasan’ wajar
terhadap ketakmasuk-akalan Filsafat Abad Pertengahan sebelumnya; dan
memang positif juga membuat telaah pemikiran kritis dan ilmu-pengetahuan
merebak di Eropa.
Apapun juga, arus umumnya termasuk
Materialisme (hanya percaya materi yang nyata, bukan ‘yang tak
tampak’), Pragmatisme (menerima segala yang dianggap (manusia) berguna
bertolak-ukur akal dirinya bukan standar agama(-Baratnya) dan oleh
apapun ’yang tidak tampak’ tadi), juga Humanisme (percaya akal
kemampuan manusia sebagai pengatur utama alam/kehidupan (bukan ’yang
tak tampak’/ghaib)); dan semuanya otomatis meremehkan Ketuhanan beserta
ajarannya termasuk ‘konsep’ konsekuensi pertanggungjawaban di Akhirat
yang seakan ’tak nyata dan tak logis’ itu.
Dan muncullah
gerakan Sekulerisme, memisahkan atau meminimasi peran agama (-agama
yang dikenal Barat) dari manajemen kehidupan sehari-hari setelah Abad
Pertengahan didominasi oknum Agamawan plus Monarkinya (Barat saat itu
mengenal Yahudi dan Katolik, ditambah Protestan hasil Reformasi Gereja
kemudian), mengakibatkan agama dogmatis (yang dikenal Barat) jamak
dianggap tak masuk akal dan merusak, dipinggirkan dari keseharian
(tanpa banyak mengingat ’sisa maksud baik’ agama-agama itu). Hukum
pemikiran Sekuler Barat pun menggantikan hukum Agama Barat, Agama hanya
pelengkap seremonial yang tak cukup berhak mengatur kehidupan, dan
kata ’Tuhan’ digantikan kata ”alam” (nature).
Semangat
mencari kebebasan ini menemui momentumnya seiring Revolusi Industri
Inggris Abad XVIII-XIX Masehi dengan Modernisme, perubahan peradaban
berdasarkan perhitungan Akal-rasio. Dibantu ditemukannya ’Dunia Baru’
Benua Amerika 1492 Masehi sebelumnya, perbudakan Modern sejak budak
Afrika didatangkan 1675 Masehi di Amerika, juga Doktrin Manifest
Destiny 1840 Masehi ’merestui’ penguasaan orang kulit putih atas Dunia
Baru itu dan genocide ras Indian Amerika; perlahan-lahan lepaslah
rakyat kebanyakan Eropa dari hirarki Monarki (terutama dari Monarki
Kerajaan Britania Raya Inggris), dan berpindah ke Amerika.
Lalu,
merasa sebagai kaum yang maju-Modern, semangat ini diekspor ke seluruh
dunia bersamaan eksplorasi (penjajahan) a la Barat. Dan apapun
’agama-peradaban baru’ non-Barat yang dikenal Barat kemudian (misalnya
saat bertemu peradaban Islam dan Sistem Ekonominya), disamaratakannya,
dipinggirkannya dari kehidupan Modern (karena menurut mereka, Agama
apapun dan peradabannya adalah ‘kuno, takhayul dan tidak ilmiah’),
bahkan dari kehidupan masyarakat ’asli’ Agama itu sendiri, dalam Clash
of Civilizations, perbenturan antar berbagai Peradaban ini (meminjam
jargon Buku terkenal berjudul sama Samuel P. Huntington).
Menyadari
ada yang hilang dari Rasionalisme-Modernisme-Kapitalisme ini, sejak
akhir Abad XIX Masehi, muncullah perlawanan Sosialisme (meminimasi
perbedaan distribusi kesejahteraan terutama secara ekonomis-komunal)
dan Komunisme (menyamaratakan kewajiban dan hak sosial bahkan tahap
tertentunya mencakup Atheisme, ketakpercayaan akan Tuhan, reaksi
terhadap sistem Agama-peradaban Barat yang dianggap Komunis sebagai
akar masalah) dengan tokoh Marx.
Bahkan arus baru ini
dalam Teologi Modern menjadi Gnostisme (cara pandang kritis baru agama
Barat) dan Neo-Atheisme (bentuk baru ketakpercayaan terhadap Tuhan).
Semangat Filantropisme (berderma) Modern mengoreksi Kapitalisme juga,
ternyata tidak cukup menyelamatkan karena selain terlambat, kurang,
juga umumnya egoistis untuk (kepentingan) sekutunya (sebagai negara
industri-maju, sumbangan AS untuk kemanusiaan dunia di bawah
negara-negara maju Skandinavia, bahkan masih jauh di bawah Arab Saudi
yang bukan negara maju).
Akal sendiri diciptakan sebagai
alat yang bekerja sesuai kemampuannya, maka jika Akal bekerja melebihi
batasnya, menjadi zalim (tak adil, dhalim), kesimpulan yang ditariknya
dapat membingungkan, terutama bila mengenai hal (ghaib) tak terjangkau
Akal. Maka, sangat pentinglah berpegang kepada petunjuk Sang Pencipta.
Potensi
Akal dan Hati (bagi sebagian adalah pertempuran Ilmu vs Agama,
berpemahaman Agama versinya) seharusnya tak bertentangan, karena
berasal dari Penyebab Segalanya (Tuhan), naluriah-kodrati. Bila
bertentangan, pendekatan atau penafsiran salah satu atau keduanya
darinya adalah salah, dan akibatnya buruk, membahayakan, menjadi tidak
sesuai fitrah.
Bagi Muslim terdidik, penelaahan dengan
jalur Akal dan Hati, Pemikiran dan Iman, Filsafat dan Agama, menjadi
tak saling bertentangan, bahkan saling menguatkan. Pemanfaatan seluruh
anugrah potensi manusia (Akal, Hati, Indera, dan sebagainya) menjadi
maksimal dan seimbang, adil, juga selaras dengan alam, manusia berada
di ‘tengah-tengah’ dan menikmati potensi dunia serta akhirat. Dan
keseimbangan pun tercapai.
QS Al Qashash ayat 77 (28
:77): Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.
Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahannya (yang adil atau tidak berlebih-lebihan). (HR. Al-Baihaqi)
Berlawanan
dengan maksud pembagian orang Sekuler dan Barat serta Ahlul Kitab yang
memisahkan Akal (pemikiran) dan Hati (agama), sehingga mungkin saja
ilmuwan menjadi tak beriman (terutama karena agama yang dikenalnya
mungkn saja adalah agama yang tak dapat diterima akal dan perasaan),
dalam Islam, orang berakal adalah orang yang beriman.
Salah
satu makna Islam, adalah sebagai (sistem) Manajemen. Bahkan salah satu
makna agama, adalah Manajemen. Karenanya, yang sempurna adalah Sistem
Manajemen Lengkap (Agama) Fitrahi dari Tuhan Yang Maha Esa, Majikan
Yang Kekal, yaitu Agama yang telah diridhaiNya ini, Islam, dan tidak
memisahkan telaah Akal dan Hati (termasuk indera dan berbagai macam
potensi manusia lain yang mungkin bahkan belum diklasifikasikan
manusia):
Adanya Filsafat Modern dulu,
dimaksudkan untuk ’membebaskan manusia’ dari hal-hal tidak masuk akal
dan tidak adil jaman Monarkis Abad Pertengahan Barat (disebut juga
Middle Age, Medieval Era atau Dark Age) sebelumnya, dan memang juga
melahirkan Ekonomi Modern Kapitalisme-Pasar Bebas ala kebebasan Barat
yang kemudian sempat mendominasi dunia, dianggap baik, namun sudah pula
degradatif dan terjerembab menghasilkan Krisis Multidimensi sangat
buruk saat ini. Sebagaimana hukum “Butterfly Effect” saja (atau dapat
pula melalui telaah kaidah Chain-Reaction atau Reaksi Berantai dan
”Domino Theory” saja, misalnya), dimana hal yang dilakukan seseorang
(atau sesuatu) akan mempunyai pengaruh kepada orang-orang (atau
benda-benda) lain (menjadi reaksi berantai), demikian pula hasil yang
akan dirasakan oleh setiap elemen kehidupan bila salah satu saja elemen
lain di sekitarnya melakukan atau dikenakan terhadapnya, suatu
perubahan.
Ini adalah jelas, bila kita mengacu bahwa
sesungguhnya hanya ada satu Tuhan sebagai Causa Prima atau Penyebab,
Sumber (dan sekaligus Penghubung) Segalanya. Tidak ada hal yang tidak
cukup dianggap untuk tidak berhubungan kiranya di dunia.
Bila
anda seseorang yang mempelajari ilmu Statistika, Matematika, Teknologi
Informasi khususnya dalam teknologi Pemrograman dan berbagai hal ilmu
terkait misalnya Ilmu Pengambilan Keputusan, lebih mudahlah memahami
hal-hal ini dalam kaidah ilmu Pemrograman (dan Probabilitas) “if A –
then B – else C – else D – else E … (jika mengambil/telah diambil
pilihan A, maka konsekuensi yang mengikutinya adalah B atau C atau D
atau E atau … dan seterusnya)”. Dan karenanya, ternyata ada
pilihan-pilihan dan segala hal yang menyertainya, misalnya
konsekuensinya. Jadi, ini adalah kaidah sunnatullah (hukum Tuhan Yang
Maha Esa): manusia diberikan pilihan untuk menyikapi kehidupannya, dan
manusia juga berperan dalam ‘menentukan’ hasil akhirnya.
Sementara
itu, satu Abad lebih sebelumnya sekitar 1880 Masehi, Filsuf Friedrich
Nietszche menegaskan bahwa Peradaban Masa Modern telah salah arah, di
tengah optimisme kepercayaan umum akan benarnya arah pembangunan Masa
Modern, dan karenanya Nietzsche juga lama dihujat kalangan Modern
Sekuler Barat. Kini, semua dilawan-seimbangkan dengan ‘jalan-tengah’
Filsafat Masa Pos-Modernisme (New Age, ’back to nature’),
mendekonstruksi Filsafat Modernisme sebelumnya agar manusia lebih
beradab, kembali ke/selaras dengan sifat alami-kodrati dengan menelaah
Akal dan Hati lebih seimbang, bahkan mendekat ke spiritualistis-religi.
Dan Nietzsche (walaupun terlanjur frustasi tak percaya Tuhan), dianggap
inspirator Masa Pos-Modernisme kini yang antara lain diteruskan Capra
dan Kuhn.
Dan pemahaman Pos-Modernisme, Back To Nature,
New Age, dan sebagainya ini; semakin mengakui adanya kekuatan luar
biasa di luar ‘kekuatan’ manusia, yang bagi orang-orang beriman, SEDARI
DULU disebut sebagai Tuhan.
Maka telah pula disebutkan 31 kali dalam Al Qur’an Surat Ar Rahmaan: “Dan (maka) nikmat Tuhanmu mana lagi yang engkau dustakan?”
Apapun,
sejak dunia banyak dipimpin (didominasi) Barat dengan segala pahamnya
(misalnya seperti disebutkan di atas), kini kita menderita pemanasan
iklim Global Warming terutama sejak Masa Industri Jaman Modern (karena
kepentingan ekonominya, AS di bawah George W. Bush masih tidak
menyetujui perjanjian penyelamatannya, Kyoto Protocol, yang sudah
diratifikasi ratusan negara lain), Polusi parah (entah mengapa kini,
terutama di AS, orang sangat sulit mendapatkan mobil listrik ramah
lingkungan bahkan buatan AS sendiri, justru bukan karena tinggi atau
rendahnya permintaan), 61827 hulu ledak Rudal Nuklir sisa akhir Perang
Dingin AS vs Uni Soviet (USSR) per 1989 Masehi, ketidakseimbangan
penguasaan sumberdaya (AS berpenduduk 4-5% dunia, menguasai sekitar 25%
sumberdaya dunia), persentase kemiskinan meningkat (rasio pendapatan
1/5 penduduk negara-negara terkaya terhadap pendapatan 1/5 penduduk
negara-negara termiskin meningkat, 30:1 pada 1960 Masehi menjadi 74:1
pada 1995 Masehi saja), 200 perusahaan terkaya dunia mendapatkan
rata-rata kenaikan keuntungan sekitar 350% sejak 1983 Masehi (gabungan
penjualan mereka lebih tinggi daripada gabungan Gross Domestic Product
seluruh negara kecuali 10 negara terkaya) yang sekitar 8000 perusahaan
beraset lebih 5 milyar USD dimiliki AS (Inggris sekitar 3000 perusahaan,
Jerman sekitar 800 perusahaan, Jepang sekitar 400 perusahaan) sampai
Krisis 2008 Masehi
Juga krisis moral-akhlak dan akidah,
AIDS dan ‘penyakit-penyakit aneh baru’, sekitar 1 milyar jiwa (Asia,
Afrika, Amerika Latin) tidak mendapatkan akses ke air bersih (padahal
hanya perlu sekitar 25% anggaran belanja Perang Luar Angkasa ”Star
Wars” AS untuk ini), sekitar 30% populasi penduduk dunia tak
berlistrik, 50% populasi penduduk dunia belum pernah berbicara melalui
telepon, penyerbuan negara lain demi sumberdaya energi, penjajahan
Palestina (Bani Israil-Yahudi dan organisasi Zionisnya didukung
Deklarasi Blackstone 1891 AS, Balfour 1917 Inggris, dan Anglo-America
Commitee 1946 Inggris-AS), Bubbles Economy, Great Depression, dan
sebagainya; termasuk kenyataan bahwa perusahaan-perusahaaan
multinasional, transnasional, global, leluasa ke mana-mana demi
kepentingannya sementara Bank Dunia, IMF, Bank-bank lainnya,
korporasi-korporasi dan pemerintah-pemerintah yang terlibat “bantuan”
internasional, terus menceritakan bahwa kemajuan telah dicapai dengan
segala alasannya; walaupun di bawah tren Global Paradox-Megatrend akan
pentingnya berbuat lokal, berpikir global dan menguatnya sistem
terkecil terhadap terbesar, independensi dalam interdependensi
jaringan.
Apa tindakan kita?
Mengapa tak
bergegas hijrah ke kebaikan di awal 1430 Hijriah (H) dan 2009 M ini?
Janganlah kita semakin mengingkari nikmat Allah SWT berupa agama Islam
ini: QS Ibrahim ayat 7 (14 :7). Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Marilah kita
kembali ke Sistem Manajemen Tuhan, yang sedari awal jaman ada, namun
sering diabaikan. Setidaknya karena betapapun jua hebatnya (pemikiran)
manusia, tetap terbenar, adalah sistemNya.
Marilah berhenti bermain-main dengan Akal dan Hati.
Berapapun
banyak pendapat dan pemikiran manusia, tetap yang paling benar adalah
aturan Tuhan. Dan waspadalah terhadap yang tak senang dengannya,
marilah kita berbuat bijaksana dan mengikuti tuntunan para Nabi dan
Rasul dalam menyikapi permusuhan dan menegakkan kebenaran.
QS
Al Baqarah ayat 145 (2:145): Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan
kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat
dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti
kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan
sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain.
dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang
ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan
orang-orang yang zalim.
Dan mengenai berbagai daftar kemukjizatan Rosulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dapat dinikmati di:
(*)
merupakan komentar Machicky Mayestino dalam Catatan (Notes) Syailendra
Yunus di Facebook berjudul “PAHAMI WAKTU…, MAKA ANDA AKAN BERTEMU
ALLAH”. Ini merupakan tanggapan Sdr. Mayestino atas komentar seseorang
yang menggugat (baca: melecehkan) Tuhan
Wassalaamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh (dan semoga engkau selamat, damai
sejahtera, dan semoga rahmat serta berkah Allah/Tuhan untukmu pula).
No comments:
Post a Comment
No Sara No Anarki....
klik Select Profile ( pilih name/URL dan isilah namamu selengkapmu gan..)