Secanggih apa pun suatu teori dan sedalam apa pun rumusannya mengenai segi-segi sosial dalam kehidupan manusia, kalau teori itu tak dapat diterapkan, batallah unsur kecanggihan tersebut.
Sebaliknya, seindah apa pun argumen suatu perundang-undangan dan peraturan di bawahnya, bahkan taruhlah di dalamnya digunakan juga argumen-argumen moral seperti suara Tuhan, maka hal-hal praktis yang memiliki kekuatan regulatif ini pun lumpuh justru demi moral yang seolah-olah dipanggulnya tinggi-tinggi.
Barang siapa mengikuti dengan saksama gerakan dunia untuk menggulung perdagangan keretek kita—karena di pasaran keretek kita mengalahkan rokok putih di negeri di mana rokok itu diproduksi— niscaya tahu bahwa aturan demi aturan yang kini muncul di depan kita dalam bentuk perundang-undangan, rencana peraturan pemerintah, dan perda-perda itu kiblatnya perang dagang yang mematikan di tingkat dunia.
Sebaliknya, seindah apa pun argumen suatu perundang-undangan dan peraturan di bawahnya, bahkan taruhlah di dalamnya digunakan juga argumen-argumen moral seperti suara Tuhan, maka hal-hal praktis yang memiliki kekuatan regulatif ini pun lumpuh justru demi moral yang seolah-olah dipanggulnya tinggi-tinggi.
Barang siapa mengikuti dengan saksama gerakan dunia untuk menggulung perdagangan keretek kita—karena di pasaran keretek kita mengalahkan rokok putih di negeri di mana rokok itu diproduksi— niscaya tahu bahwa aturan demi aturan yang kini muncul di depan kita dalam bentuk perundang-undangan, rencana peraturan pemerintah, dan perda-perda itu kiblatnya perang dagang yang mematikan di tingkat dunia.
Dan seperti layaknya perang, maka pihak yang memerangi kita itu lalu menempuh berbagai cara untuk menang. Saya kagum pada kecanggihan yang mereka miliki. Tapi, lama-lama,apa artinya kecanggihan bila sudah jelas bahwa semangatnya menebarkan kematian demi kematian di muka bumi: kematian usaha, kematian lapangan kerja, kematian sumber penghasilan, dan pada akhirnya kematian harapan (satu-satunya hak yang dimiliki warga sebuah negara merdeka).
Bukankah kematian harapan sama dengan kematian orang per orang yang pada mulanya hidup jaya, berkecukupan, dan bisa menghidupi orang lain? Mengapa kematian dibiarkan? Mengapa semangat VOC dan kolonialisasi—dalam bentuknya yang lain—masih dibiarkan hidup untuk merampas kehidupan kita? Mengapa cara yang persis: memecah belah dan menguasai—yang kita kenal licik dan serakah— tak kita lawan,tapi sebaliknya, kita bahkan menerimanya dengan baik hanya karena sebagian dari kita menerima upah?
Dibeli
Mengapa pula mekanisme memerintah secara tak langsung, membuat perundangan dan aturan-aturan tak langsung, yang dilimpahkan kepada kita, dan kita menerapkan peraturan itu dengan disiplin, lebih dari sang juragan, juga kita terima hanya karena kita memperoleh upah, yang juga tak seberapa? Upah dan upah itu berupa uang dan jabatan. Siapa yang serakah dan tak menghormati kemerdekaan orang lain? Si kolonial, atau kita, yang bersedia taat pada perintah Duli Tuanku? Kita tidak belajar dari sejarah.
Semangat partisan, kegairahan memihak yang kaya dan berkuasa, sejak dulu kita pegang. Kita tak belajar menjaga nilai-nilai bersama. Kita kurang taat pada apa yang kita muliakan sendiri. Kelihatannya hingga kita belum cukup belajar untuk setia pada citacita bersama. Padahal, kita tahu,kesetiaan ini bukan filsafat yang muluk-muluk, bukan teori yang ruwet, melainkan kebutuhan praktis sehari-hari untuk bisa menjadi suatu bangsa yang solid, kukuh, dan punya harga diri. Dari dulu kita silau pada duit dan jabatan.
Duit itu dalam suatu momentum tertentu hakikatnya hanya kertas. Jabatan, jika dilihat dengan teliti, suatu saat akan terbukti hanya sebuah kursi,yaitu kayu dan waktu,yang sudah berlalu. Ketika segalanya sudah lama berlalu—ini risikonya—, kita memasuki kehampaan hidup: sepi, tak berarti, dan tak bisa lagi berbuat apa-apa.Tapi kita tahu, kita pernah berbuat aniaya kepada negara, kepada rakyat, yang menderita.
Lalu kita hanya tersiksa. Tiap saat. Duit, dan jabatan, mengapa bisa membeli kesetiaan dan menyuruh-nyuruh manusia merdeka—sebagian bahkan golongan terpelajar—untuk berbuat ini dan itu bagi kepentingan juragan—sama seperti ketika VOC masih di sini.
Sultan Agung dari Mataram, dengan bala tentaranya, pernah berjalan ke Betawi ini, untuk melabrak VOC, dan kita sudah di Betawi, tapi kita memilih menjadi rangkaian panjang tali-temali konspirasi tingkat dunia yang canggih, yang berniat menggulung dan memiliki keretek kita, tembakau kita, cengkih kita, seperti dulu mereka mengganyang kopra dan minyak tanah kita.
Gerakan Moral
Para bupati, para wali kota, para gubernur, yaitu ayah, bapak, dan pelindung bagi rakyat daerah, ayah, bapak, dan pelindung para petani tembakau, petani cengkih, dan buruhburuh miskin yang memerlukan perlindungan, kini sudah tak peduli. Maka suatu gerakan moral harus dilakukan. Gerakan moral itu mengambil posisi di garis pinggir: mengingatkan dan mengimbau kekeliruan dan ketidakpedulian, siapa tahu yang keliru masih punya kecenderungan untuk benar dan yang tak peduli masih punya sedikit kepedulian.
Ini bahkan bisa menjadi sebuah passive resistance, tapi gigih dan tak mengenal kalah karena roh kebenaran membuat kita tak mati? Jika patah, kita tumbuh. Jika hilang, muncul pengganti. Dan jika satu mati, minimal tumbuh satu tapi lebih militan. Passive resistance itu mengangkat semangat Gandhi: non-violance yang maju, maju, dan maju menghadapi kolonial Inggris dan menang.
Undang-undang yang diperkukuh MK ini sudah sah, final. Tapi kita tahu, undang-undang bukan kitab suci, juga bukan UUD. Kita baru menyaksikan UUD kita diamendemen terusmenerus. Maka kata final itu janganlah dimutlakkan seolah betul-betul final. Final hari ini, besok belum jelas. Benar sekarang, lusa belum tentu.
Tapi konspirasi ini canggih. Dan kuat. Dananya maha besar. Apalagi masih didukung orang-orang lokal,yaitu para sahabat dan saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi kita dikalahkan: sama seperti nasib Sultan Agung? Tunggu. Apakah Sultan Agung kalah? Apakah Pangeran Diponegoro kalah? Apakah Imam Bonjol kalah? Dan Aru Palaka kalah? Pahlawan daerah- daerah lain kalah? Apakah generasi 1908 dan 1928 yang militan itu dengan begitu hanya anak cucu orang-orang kalah tadi?
Apakah generasi Soekarno-Hatta juga hanya golongan orang-orang kalah? Mereka memberi kita modal luar biasa besarnya. Maka, mari kita rebut saudara-saudara kita itu, untuk kita ajak “kembali” memilih berpihak pada kita: negeri kita yang kaya dan rakyat di dalamnya. Konspirasi asing, betapapun kuatnya, tak berarti tanpa dukungan dari dalam.
No comments:
Post a Comment
No Sara No Anarki....
klik Select Profile ( pilih name/URL dan isilah namamu selengkapmu gan..)