"Jangankan berlapang dada dengan bayangan yang nampak di cermin, berlapang dada dengan cerminnya saja belum tentu bisa. Kalau cerminnya terlalu jernih, bisa jadi kita malah mengeluh, sebab semua jerawat malah jadi terekspos dengan sempurna."
Bersikap adil pada diri sendiri itu memang tidak gampang. Kalau mau bercermin, bukan hanya harus punya cermin, tapi cermin itu juga harus jernih, harus rata (jangan cekung atau cembung), dan yang paling penting: kita harus mau memandang ke arahnya. Kalau tidak mau melihat ke arah cermin, kapan kita akan melihat wajah sendiri?
Konon, memahami manusia itu adalah perkara yang sulit, bahkan sama sulitnya dengan memahami alam raya ini. Jadi, kalau mau pusing, tinggal pilih saja: mau menyelidiki alam semesta nan luas, atau mau mengembara ke kedalaman diri manusia? Dua-duanya mungkin memang sama ribetnya.
Mengapa manusia sulit memahami manusia? Ya, masalah memang jadi kompleks karena dalam hal ini pengamatnya adalah manusia, dan yang diamatinya pun adalah manusia. Artinya, manusia adalah subyek dan obyek penelitian. Lebih susah lagi kalau obyek penelitiannya adalah diri sendiri, sebab semakin susah saja untuk bersikap jurdil (jujur dan adil; masak nggak tau?).
Lihat saja betapa tidak adilnya rakyat dalam memandang dirinya sendiri. Dari tahun ke tahun, rakyat mengeluh karena pemerintah tidak amanah. Padahal pemerintah yang berkuasa itu adalah pilihan mereka sendiri. Mereka sendiri yang berpanas-panas dalam kampanye, mereka sendiri yang pasang badan, dan mereka sendiri yang mencoblos. Setelah partai pujaannya menang, beberapa tahun kemudian diganjar kasus korupsi di mana-mana. Salah siapa? Salah koruptornya, donk! Bolehlah, tapi mbok ya lima tahun kemudian jangan salah pilih lagi, lagi dan lagi, gitu lho… Salah kok keterusan? Bagaimana pun, rakyat tidak mau dipersalahkan. Coba saja kalau ada politikus yang berani menyalahkan rakyat, habislah karir politiknya!
Lihat betapa tidak adilnya masyarakat dalam membangga-banggakan daerahnya sendiri. Hanya karena masalah si kulit bundar, orang bisa mati dibunuh. Yang dibunuh tidak ikutan main, tidak ikutan curang, tidak jadi wasit, tidak jadi official, bahkan mungkin tidak ikut menonton juga karena tidak mampu beli tiket. Tetap saja dibunuh. Setelah satu nyawa melayang, lalu introspeksi? Bagus, kalau begitu! Tapi besok-besok, tanding lagi, ya berkelahi lagi. Kalau tim kesayangan kalah, pilihannya kalau nggak wasit tak becus atau ya lawannya curang. Kalau cara berpikirnya begitu, gimana nggak berantem terus?
Jangan tanya soal keluarga, sangat tidak adil! Kalau anaknya terjerumus dalam narkoba, orang tua berkilah, “Nggak mungkin! Anak saya baik kok, shalatnya rajin…” Padahal yang dibilang ‘rajin’ itu maksudnya rajin Shalat Jum’at, shalat lima waktu entahlah. Yah, namanya juga anak sendiri, semuanya terlihat bagus dan aman-aman saja di mata orang tuanya. Main game online seharian boleh, pacaran semalaman boleh, dugem sampai pagi boleh, apa saja boleh. Yang penting tiap Jum’at siang kelihatan pergi ke masjid, walaupun di depan Khatib ia malah main Twitter. Mana ada orang tua yang mau mengaku gagal?
Adil pada diri sendiri, jauh lebih susah lagi! Jangankan berlapang dada dengan bayangan yang nampak di cermin, berlapang dada dengan cerminnya saja belum tentu bisa. Kalau cerminnya terlalu jernih, bisa jadi kita malah mengeluh, sebab semua jerawat malah jadi terekspos dengan sempurna. Coba saja potret close-up wajah sendiri dengan kamera 14 megapixel, lalu zoom sampai maksimal. Tetap mulus, atau malah ‘kelihatan aslinya’? Akhirnya, banyak orang yang sikapnya sama saja dengan si Ratu Jahat yang bertanya pada cerminnya, “Mirror, mirror hanging on the wall. Who’s the prettiest girl of all?” Tapi setelah cerminnya menjawab jujur, malah didamprat. Kalo gitu, ngapain nanya?
Seringkali, sikap tidak jujur pada diri sendiri itu terwujud justru dalam sikap seseorang pada orang lain, bukan pada dirinya sendiri. Sederhananya, ia menerapkan sebuah standar yang hanya diberikannya untuk orang lain. Adapun terhadap dirinya sendiri, ia tidak pernah menerapkan standar yang sama. Sama konyolnya seperti guru penjaskes (pendidikan jasmani dan kesehatan) yang bicara sok bijak pada siswa-siswinya dengan asap rokok yang mengepul dari mulutnya: “Ingat ya anak-anak, jangan sampai kalian ikut-ikutan merokok. Merokok itu tidak baik!”
Ada kelompok-kelompok dalam umat Muslim yang menolak sepenuhnya sistem yang berlaku di negaranya, sehingga mereka menolak juga kerja sama dalam hal apa pun dengan pemerintah. Kepada yang bersikap kooperatif dengan pemerintah, mereka mencemooh, “Apa gunanya kalian bekerja sama dengan pemerintah? Toh negara ini tidak bertambah baik.” Dengan seadanya, dijawablah oleh saudaranya, “Kecil atau besar, yang penting kita berbuat. Ente sendiri udah ngapain?” Tiba-tiba tersinggunglah orang tadi, lalu berkata, “Apa kami harus memamerkan kerja dan prestasi kami? Itu riya’ namanya!” Akhirnya tertawalah lawan bicaranya, “Lha, tadi kan ente yang meragukan kerja dan prestasi kami. Giliran kami yang nanya kerja dan prestasi situ, kok pundung?”
Saya juga pernah terlibat dalam debat yang sama lucunya. Seperti biasa, ada aja yang nyamber dan bertanya-tanya soal pendapat saya perihal suatu isu yang sedang hangat. Sejak dulu saya terlatih untuk menghindari debat, apalagi soal masalah-masalah furu’ (cabang). Prinsip saya, kalau ulama yang pinter-pinter saja masih memperdebatkan soal itu, lalu apa hak saya untuk mengatakan bahwa masalah tersebut sudah 100% pasti konklusinya begini dan begitu? Adab seorang pengikut, setahu saya, adalah memilih pendapat yang dianggapnya lebih kuat dan menghormati pendapat yang lain. Akan tetapi, biarpun kita selalu menghindarinya, kadang-kadang ada saja yang memancing-mancing untuk debat.
Kepada saudara yang satu itu, saya jelaskan bahwa para ulama memang berbeda pendapat. Ada pendapat yang begini, ada yang begitu. Saya bukan fuqaha. Jangan tanya saya mesti memilih pendapat yang mana. Ternyata, jawaban ini tidak memuaskannya. Dengan lantangnya, ia berkata, “Maaf, saya tidak setuju. Saya hanya mengambil pendapat dari ulama yang jelas sanad-nya!” Lalu ia menyebut nama seorang Habib yang sangat ternama.
Saya tidak pernah punya masalah dengan Habib yang ia sebutkan itu, demikian juga dengan jamaahnya. Sebaliknya, saya malah sering jadi bulan-bulanan kelompok Islam liberal karena membela mereka. Kata para pengikut Islam liberal, jamaah Sang Habib itu adalah contoh buruk, sebab selalu bikin macet dan kalau naik motor berduyun-duyun banyak yang tidak tertib dan tidak mengenakan helm. Tetap saja saya bela. Lebih baik melanggar lalu lintas daripada melanggar agama seperti Islam liberal, kan? Nah, sayangnya saudara kita yang satu ini tidak tahu. Maka, saya pun diperlakukan bagai musuh.
Kembali pada gugatannya tadi, saya pun memintanya agar tidak emosional. Bagaimana pun, penggunaan tanda seru dalam tulisan di dunia maya bisa dianggap melanggar netiquette (etiket berinternet, kurang lebihnya begitu). Akan tetapi, seperti yang sudah saya duga, tidak ada permintaan maaf. Malah muncul komentar, “Ini soal ‘aqidah, harus tegas!” Soal ‘aqidah memang harus tegas, tapi apa iya harus melanggar netiquette? Kalau sudah begini, maka solusi mendiamkan selalu menjadi opsi yang terbaik.
Beberapa hari kemudian, ikhwah itu muncul lagi. Tanpa banyak komentar, ia mengirimkan link berita buruk yang mungkin dipikirnya akan melukai saya. Ironisnya, pada hari itu juga terbukti bahwa berita yang ia bicarakan tidak benar. Lagipula, link yang ia berikan pun berasal dari situs berita yang sudah teramat sering melakukan kesalahan.
Kebijakan ‘mendiamkan’ masih saya berlakukan pada dirinya. Hanya saja, satu hal menarik dapat saya jadikan pelajaran di sini. Manusia memang susah untuk bertindak adil, apalagi terhadap dirinya sendiri, dan hal ini ditunjukkan dengan sangat baik oleh saudara kita tersebut. Ia mengabaikan pendapat sedemikian banyak ulama karena dianggapnya ‘tidak punya sanad’ atau ‘sanad-nya tidak/kurang terpercaya’, tapi di lain waktu, ia malah mengutip dan menyebarluaskan berita dari sumber yang tidak terpercaya, alias diragukan sanad-nya. Padahal, sikap mementingkan sanad itu bagus. Dalam mencari ilmu, kita harus tahu sumbernya berasal dari mana. Tidak boleh sembarangan mengambil ilmu, apalagi ilmu agama. Sayangnya, ketika berurusan dengan aib orang lain (atau yang disangkanya sebagai aib orang lain), nampaknya ia tidak begitu peduli dengan sanad.
Kalau sudah berurusan dengan yang seperti itu, memang diam lebih baik. Diam, lalu ceritanya dimuat di blog. Jangan tanya identitasnya, sudah pasti saya sembunyikan.
sumber: http://www.akmalsjafril.com/blog/data/Bercermin
twitter: @malakmalakmal
No comments:
Post a Comment
No Sara No Anarki....
klik Select Profile ( pilih name/URL dan isilah namamu selengkapmu gan..)