Thursday, October 28, 2010

Rakyat Yogya Yang Didzalimi Jakarta (Sebuah Renungan tentang Keistimewaan Yogyakarta)


Kalian boleh pandang remeh,
karena saya rakyat kecil,
kalian boleh hina saya,
karena saya bukan siapa-siapa,
Tapi kalian tidak boleh sepelekan
doa, semangat, dan tekad saya.


Kalimat di atas, adalah sepenggal SMS dari Gus Nash, pimpinan pesantren yang berlokasi di ujung barat Pegunungan Seribu yang amat polos dan amat boleh jadi sangat sakti.


Melihat sejarah yang tergelar di Indonesia, Aceh dan Yogyakarta adalah "daerah modal" dari republik ini. Dua daerah ini berada di barisan terdepan yang pertama menyatakan "bergabung" dengan Republik. Bahkan dua tahun setelah dua tahun negeri ini merdeka, Yogyakarta menjadi Ibukota Negara yang bernama Republik Indonesia itu, karena Jakarta diserang tentara penjajahan lagi.


Tanggal 19 Desember 1948, ratusan rakyat Yogyakarta tewas ditembaki Belanda. Tanggal 5 Maret 1949, ratusan pemuda Yogya mati diterjang peluru Belanda, ratusan rumah yang dicurigai sebagai sarang atau gudang pangan gerilyawan dibakar Belanda, sebagai pembalasan Serangan Oemoem yang dilakukan TNI 1 Maret 1949.


Anehnya 2 daerah ini (Aceh dan Yogya) malah sering didzalimi oleh Jakarta. Aceh sebuah daerah yang pernah punya Kerajaan Besar, hampir tidak pernah terjajah Belanda, paling tidak dua kali didzalimi Jakarta. Pertama, Aceh yang semula Dati I posisinya diturunkan menjadi bagian dari Sumatera Utara. Jadi setingkat Kabupaten. Kedua, rezeki gas alam di Aceh disedot ke Jakarta dijual ke China dan Korea. Kedua kasus itu membuat rakyat Aceh marah. Berontak! Walaupun berhasil diatasi secara damai, tetapi trauma pemberontakan itu belum hilang di hati anak-anak Aceh.


Yogyakarta lebih beruntung, puluhan tahun dihormati Jakarta. Status Daerah Istimewa diakui melalui UU Nomor 3 tahun 1950. Dalam UU itu ada 18 urusan yang diserahkan kepada Daerah Istimewa Yogyakarta. Maksud pusat, sebagai pilot project untuk model pelaksanaan politik administrasi pemerintahan Indonesia di masa mendatang.


Pasca Reformasi 1998, Yogya mulai diledek Jakarta. Rencana RUUK semula dimaksud untuk mempertegas status keistimewaan Yogyakarta, dijadikan permainan politik yang tidak habis-habisnya. Suasana politiknya makin tidak jelas. Apalagi politisi Indonesia (baca baik legislatif maupun orang orang eksekutif), kebanyakan lahir pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949) jadi tidak "menangi" kedua peristiwa bersejarah itu.


Sebagai daerah modal awal republik ini telah dihina oleh Jakarta. Untung kita punya budaya alon-alon waton kelakon. Waton itu dari kata wewaton, bingkai, ugeran, peraturan. Ikuti aturan, ikutin wewaton. Orang Jawa pantang melanggar "wewaton".


Upaya menghormati proses politik dan hukum menjadi pilihan rakyat dan dimanifestasikan oleh Sultan Ngayogyakarta dan Adipati Paku Alam. Sebenarnya rakyat sudah lelah mengikuti polemik UUK ini. Orang lelah, seperti halnya rakyat yang dipermainkan akan cepat marah. Tapi semarah-marahnya orang Yogya ya tidak akan berontak seperti Rakyat Aceh. Rakyat Yogya paling tidak akan mengeluarkan sumpah serapah seperti ungkapan Gus Nash yang mewakili nurani rakyat Yogyakarta.


Kalau Jakarta tidak juga menyelesaikan urusan Keistimewaan ini, rakyat Yogya akan berdoa bersama, siapa yang salah diminta seleh. Kalau Jakarta berniat jahat, rakyat Yogya akan berdoa, minta kepada Allah SWT, agar Allah SWT memerintahkan pasukan rayap (anai anai) untuk menyerbu Jakarta, menggerogoti Kursi anggota DPR biar rapuh, kalau perlu juga Singgasana Penguasa juga dimakan rayap. Kalau pendapat seperti itu telah menjangkiti orang Yogya, urusannya bisa gawat.


Orang orang terpelajar di Yogya pasti tahu bahwa keterlambatan penyelesaian RUUK Yogyakarta itu akibat sedang terjadi krisis multidimensional, krisis moral, krisis etika politik, krisis kepemimpinan nasional yang luar biasa.


Seperti yang sudah sudah, Yogya masih jadi kiblat banyak pemimpin lokal. Aksi kultural akan disambut oleh daerah daerah yang juga memiliki juga problem lokal. Itu telah ditengarai, anomali cuaca seperti ini yang pernah terjadi di tahun 1965an, 1997an dan akhir 2010 ini. Kita mesti waspada munculnya pasukan rayap yang akan menggerogoti kursi orang-orang yang tidak amanah.


Oleh Daliso Rudiyanto (Pemerhati Budaya Yogya)


sumber:
Harian Kedaulatan Rakyat
Senin Legi, 25 Oktober 2010
Kolom Opini Halaman 14




Blogged with the Flock Browser

1 comment:

No Sara No Anarki....
klik Select Profile ( pilih name/URL dan isilah namamu selengkapmu gan..)