“Sayyid Quthb,
sebuah nama legendaris di kalangan aktivis pergerakan Islam. Namanya
dipuji kaum pergerakan Islam di seluruh dunia, dari yang moderat seperti
Ikhwanul Muslimin di Mesir, PKS, dan kelompok-kelompok Islam lainnya di
Indonesia, sampai kalangan gerakan Islam radikal, seperti Al Jihad,
Jamaah Islamiyah (Mesir), serta Al Qaidah, dan kelompok-kelompok lokal
yang berafiliasi dengannya.
Sebaliknya, oleh
kalangan penguasa sekuler, media massa, dan peneliti Barat, Sayyid
Quthb mendapat stempel buruk. Ia dijuluki sebagai ‘Ideolog Gerakan
Radikal Islam’, ‘Bapak Islam Fundamentalis’, bahkan ‘Guru Para Teroris’.
Sebutan itu dilekatkan kuat pada Sayyid karena tokoh-tokoh radikal
Islam menjadikan tulisan-tulisan Sayyid sebagai inspirasi gerakan
mereka, yang umumnya memilih jalur kekerasan bersenjata.”
Demikian paragraf awal pengantar penerbit Khatulistiwa Press dalam buku “Benarkah Ia Guru Para Teroris?” yang diterbitkan pada bulan Januari 2012 lalu. Buku dengan judul asli Sayyid Quthb Dhiddal ‘Anf (Sayyid Quthb versus Kekerasan)
ini merupakan karya Dr. Munir Muhammad Al Ghadban. Beliau adalah
seorang penulis dan peneliti Islam yang berasal dari Suriah. Salah satu
karyanya yang banyak beredar di Indonesia adalah Manhaj Haraki.
Dengan berbekal berbagai karya tulis
Sayyid Quthb dan beberapa buku sekunder tentang Sayyid, Dr Munir
Muhammad Al Ghadban meneliti pemikiran Sayyid terhadap kekerasan dalam
mencapai tujuan dakwahnya. Dan berdasarkan penelitiannya tersebut, ia
berkesimpulan bahwa Sayyid bukanlah seorang penganjur kekerasan dan
terorisme seperti yang banyak dilakukan para pengagum Sayyid Quthb
dewasa ini.
Buku ini diberi pengantar oleh Dr. Muhammad ‘Imarah
yang menjelaskan perjalanan hidup Sayyid Quthb sejak kecil hingga
dihukum mati di tiang gantungan secara ringkas. Ia menyebutkan perubahan
paradigma pemikiran Sayyid Quthb di sepuluh tahun terakhir kehidupannya
di penjara militer yang teramat berat. Ia, Sayyid, menuduh semua jamaah
Islam sebagai jahiliyah dan kafir. Bahkan ia juga menuduh umat Islam
telah murtad dan Islam telah terputus sejak beberapa abad lalu. Dalam Ma’alim fith Thariq,
ia berkata, “Sesungguhnya keberadaan umat Islam telah terputus sejak
beberapa abad yang lalu. Dan yang diperlukan sekarang adalah menjadikan
mereka sebagai Muslim yang baru.” Bagian inilah yang nanti juga akan
dibahas oleh Dr. Munir Muhammad Al Ghadban saat mengurai pemikiran
Sayyid Quthb, dan kesimpulannya adalah bahwa pemikiran Sayyid tentang
ini adalah “ijtihad yang keliru” atau “desahan yang tertahan dari orang
yang dizhalimi”. Dr. Muhammad ‘Imarah memilih untuk menakwil ungkapan
ini dalam koridor “penjelasan tambahan” yang ditulis Sayyid dalam
pledoinya.
Para pengagumnya yang menelan pendapat
ini mentah-mentah dengan serta-merta mengangkat pedang untuk terjun di
tengah debu “anarkisme brutal” yang akan menghancurkan satu generasi
pemuda Islam. Mereka adalah orang yang memiliki pemahaman yang salah
mengenai maksud dari ungkapan itu. Dengan pemahaman yang salah tersebut,
mereka mendeklarasikan perang terhadap “negara yang dipimpin dengan
hukum kufar.”
Menurut Dr. Muhammad ‘Imarah, mereka
telah menempuh jalan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan
Sayyid Quthb, dan Sayyid tidak bertanggungjawab atas perbuatan mereka.
Mereka berpedoman dengan fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika
menghadapi pasukan Tartar. Namun, setelah berjalan sekitar 20 tahun
sejak tragedi “anarkisme buta”, mereka mulai mengevaluasi pemikirannya
dan menyadari kekeliruannya dalam berpedoman pada fatwa Ibnu Taimiyah
tersebut yang tidak seharusnya digunakan dalam menghadapi segala bentuk
permasalahan.
Berdasarkan penelitiannya, Dr. Munir
Muhammad Al Ghadban mengambil kesimpulan bahwa Sayyid Quthb bukanlah
penganjur kekerasan, bahkan ia adalah penganjur perdamaian, dan anti
pertumpahan darah. Berikut ini beberapa poin dari penelitian beliau
tentang pemikiran Sayyid Quthb.
Sayyid Berjihad dengan Pena dan Kata-kata, Bukan Pedang dan Senjata
“Pada tahun 1951, aku terlibat
perseteruan hebat dengan kondisi pemerintahan yang ada—yaitu
pemerintahan feodalisme dan kapitalisme— melalui pena, ceramah, dan
berbagai pertemuan. Mengenai masalah ini, aku menerbitkan dua buah buku—
di samping juga menerbitkan ratusan makalah di berbagai surat kabar,
antara lain: Al Hizbul Wathani Al Jadid (Partai Nasional Baru), Al
Hizbul Isytiraki (Partai Sosialis), majalah Ad Da’wah yang diterbitkan oleh Ustadz Shalih Al ‘Isymawi, majalah Ar Risalah,
dan berbagai majalah yang mau menerima dan mempublikasikan tulisanku.
Ketika itu, aku tidak bergabung dengan satu partai apa pun. Keadaan
seperti ini berjalan sampai terjadi revolusi 23 Juli 1952,” tulis Sayyid
dalam Limadza A’damuni.
Dalam Dirasat Islamiyah, pada bab Kekuatan Kata-kata, Sayyid menulis,
“Di beberapa saat,
yaitu saat-saat perjuangan yang pahit yang dilakukan ummat di masa yang
lalu, saya didatangi oleh gagasan keputusasaan, yang terbentang di depan
mata saya dengan jelas sekali. Di saat-saat seperti ini saya bertanya
kepada diri saya: Apa gunanya menulis? Apakah nilainya makalah-makalah
yang memenuhi halaman koran-koran? Apakah tidak lebih baik dan pada
semuanya ini kalau kita mempunyai sebuah pistol dan beberapa peluru,
setelah itu kita berjalan ke luar dan menyelesaikan persoalan kita
dengan kepala-kepala yang berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas?
Apa gunanya kita duduk di meja tulis, lalu mengeluarkan semua kemarahan
kita dengan kata-kata, dan membuang-buang seluruh tenaga kita untuk
sesuatu yang tidak akan sampai kepada kepala-kepala yang harus
dihancurkan itu?
Saya tidak
menyangkal bahwa detik-detik seperti ini menjadikan saya amat
menderita. Ia memenuhi diriku dengan kegelapan dan keputusasaan. Saya
merasa malu kepada diri saya sendiri, sebagaimana malunya seorang yang
lemah tidak dapat berbuat sesuatu yang berguna.
Tetapi untunglah
saat-saat seperti itu tidak berlangsung lama. Saya kembali mempunyai
harapan dalam kekuatan kata-kata. Saya bertemu dengan beberapa orang
yang membaca beberapa makalah yang saya tulis, atau saya menerima surat
dan sebagian mereka. Lalu kepercayaan saya akan gunanya media seperti
ini kembali lagi. Saya merasa bahwa mereka mempercayakan sesuatu kepada
saya: sesuatu yang tidak begitu berbentuk yang terdapat dalam diri
mereka. Tetapi mereka menunggu-nunggunya, bersiap-siap untuknya dan
percaya kepadanya.
Saya merasa bahwa
tulisan-tulisan para pejuang yang bebas, tidak semuanya hilang begitu
saja, karena ia dapat membangunkan orang-orang yang tidur, membangkitkan
semangat orang-orang yang tidak bergerak, dan menciptakan suatu arus
kerakyatan yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu, kendatipun belum
mengkristal lagi dan belum jelas lagi.”
Dalam hal ini, Sayyid Quthb memilih
berjihad dengan pena dan kata-kata daripada dengan senjata api karena
menurutnya ia dapat membangunkan orang-orang yang tidur, membangkitkan
semangat orang-orang yang tidak bergerak, dan menciptakan suatu arus
kerakyatan yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu.
Pelopor Revolusi Mesir yang Anti Pertumpahan Darah
Seperti diketahui, bahwa Sayyid Quthb
adalah pelopor Revolusi 23 Juli yang menggulingkan pemerintahan Raja
Faruq yang diktator bersama para perwira militer di bawah pimpinan
Jenderal Muhammad Najib, namun sebenarnya diotaki oleh Jamal Abdun
Nashr. Buku Sayyid Quthb yg berjudul Al ‘Adalah Al Ijtima’iyah fil Islam dijadikan buku pegangan wawasan pemikiran para perwira militer tersebut. Mereka kemudian menjuluki Sayyid Quthb sebagai Mirabeau Revolusi Mesir,
merujuk para Mirabeu, tokoh wartawan yang merupakan ideolog Revolusi
Perancis. Pada saat itu, Sayyid Quthb sudah menjalin hubungan baik
dengan Ikhwanul Muslimin, namun belum secara resmi bergabung dengan
organisasi yang dipimpin oleh Hasan Al Hudhaibi itu.
Kala itu di mesir ada 3 kelompok yang menolak perubahan politik di Mesir dan menginginkan status quo,
yakni penguasa diktator untuk mempertahankan kezhalimannya, penjajah
pendukung rezim diktator, dan rezim yang tunduk pada negara penjajah.
Sayyid memandang bahwa perubahan melalui kudeta ini perlu didukung
karena bersih dari pertumpahan darah dan terhindar dari jatuhnya korban
pihak sipil.
Dalam hal ini, Pemimpin Ikhwanul
Muslimin juga mendukung revolusi yang bertujuan untuk menghilangkan
kezhaliman dan menggantikannya dengan Islam. Mahmud Al Azib, seorang
pemimpin Ikhwan di Port Said menceritakan, “Sesungguhnya pemimpin kami
dan Ustadz Sayyid Quthb adalah orang yang menjaga revolusi sejak janin
hingga lahir.”
“Beberapa hari sebelum revolusi meletus,
kami menerima perintah dari Sayyid Quthb untuk menyiapkan diri. Ketika
aku menerima perintah tersebut, tepatnya 19 Juni 1952, aku langsung
datang ke Kairo dan menuju rumahnya. Di sana telah berkumpul beberapa
pemimpin revoluasi, diantaranya adalah Jamal Abdun Nashr. Sayyid Quthb
berkata agar aku dan pasukanku menyiapkan diri. Perintah tersebut juga
berlaku untuk induk organisasi Ikhwanul Muslimin yang sipil. Selain itu,
ia juga berpesan jika kami mendengar terjadinya revolusi, maka kami
harus menjaga stabilitas keamanan di wilayah Port Said. Ia tidak lupa memperingatkan kami untuk menghindari pertumpahan darah,” tulis Dr Shalah Khalidi dalam Sayyid Quthb, Minal Milad ilal Istisyhad.
Lihatlah bagaimana Sayyid mewanti-wanti agar revolusi berjalan tanpa pertumpahan darah!
Setelah keberhasilan revolusi tak
berdarah, Dewan Militer mengadakan perayaan penghormatan untuk Sayyid
Quthb. Dalam sambutannya, Sayyid mengatakan, “Sesungguhnya masa revolusi
baru saja dimulai. Kita tidak boleh merasa puas dan memujinya, karena
revolusi belum menghasilkan sesuatu yang dapat dikenang. Turunnya raja
bukanlah tujuan revolusi ini. Tujuannya adalah mengembalikan negara
kepada Islam. Para masa kerajaan, aku telah menyiapkan diri untuk masuk
penjara etiap saat. Pada saat inipun, diriku juga tidak aman dari
ancaman penjara, dan aku juga menyiapkan diri untuk menerimanya. Bahkan
peluang diriku dipenjara lebih besar dari sebelumnya.”
Jamal Abdun Nashr pun berdiri dan
berkata lantang, “Kakakku Sayyid, demi Allah! Mereka tidak akan dapat
menyakitimu sebelum mereka melangkahi mayat kami terlebih dulu. Kami
berjanji padamu dengan nama Allah bahwa kami siap menjadi pelindungmu
sampai mati!”
Pernyataan Jamal Abdun Nashr tersebut
hanya dusta belaka, karena kita tahu kemudian Sayyid Quthb dihukum
gantung sampai mati oleh Jamal Abdun Nashr!
Metode Pergerakan Islam
Saat berada di penjara, Sayyid melakukan
perenungan atas berbagai peristiwa yang menimpanya dan menimpa Ikhwanul
Muslimin. Sayyid mengalami perubahan paradigma berpikir. Di antaranya
mengenai metode yang seharusnya digunakan oleh gerakan Islam dalam
berjuang meninggikan kalimat Allah. Sayyid berpendapat bahwa gerakan
Islam mendasar yang membuat mereka mudah sekali dihantam dan dihancurkan
oleh musuh-musuhnya.
Menurutnya, kesalahan metode lama terletak pada dua hal. Pertama, berkecimpung secara aktif dalam politik praktis, serta mencurahkan tenaga hanya untuk memperbaiki cacat-cacat pemerintah. Kedua,
gerakan Islam selama ini juga terlalu menyibukkan diri dengan menuntut
pemerintah untuk menerapkan sistem pemerintahan syariat Islam. Padahal
keadaan mayoritas masyarakat justru jauh dari pemahaman yang benar
tentang akidah dan akhlak Islam.
Menurut Sayyid, metode gerakan Islam
yang benar adalah dengan memulai gerakannya dari dasar, yang tercermin
dalam dua agenda besar. Pertama, memberi pendidkan kepada masyarakat dan tidak berkecimpung di pemerintahan. Kedua,
melindungi dakwah dan gerakan Islam dari kemusnahan. Hal ini dapat
dilakukan melalui pemberian pelatihan khusus kepada beberapa kelompok
pemuda agar mampu melaksanakan tugas melindungi organisasi dengan baik.
Dalam hal ini Sayyid Quthb dan rekannya
berharap membentuk sebuah gerakan Islam baru yang berdiri di atas konsep
gerakan Islam terbaru berdasarkan perenungan Sayyid. Namun, gerakan itu
tidak pernah disaksikan oleh Sayyid.
Sayyid Menolak Ide Pembunuhan Jamal Abdun Nashr
Ahmad Abdul Majid, salah satu dari lima
komandan yang mengatur organisasi Ikhwanul Muslimin pernah berkata,
“Kami pernah menawarkan ide untuk membunuh Jamal Abdun Nashr kepada
Sayyid Quthb. Kami punya seorang anggota yang bekerja sebagai pengawal
Jamal, sehingga mudah baginya untuk melaksanakan pembunuhan tersebut, ia
berkali-kali menawarkan hal itu pada kami. Namun Sayyid menolaknya.
Ia menjawab, ‘Aku tidak ingin kalian
menyibukkan diri dengan masalah ini. Meskipun tujuan kalian sebenarnya
dalah untuk menguasai hukum pemerintahan dan menggantinya dengan
penerapan hukum Syariat Islam. Bukan karena menganggap ini sebagai
masalah politik atau bangsa, atau sekadar melakukan reformasi
kecil-kecilan. Kita menginginkan Islam ada di jiwa dan hati masyarakat
sebelum melakukan tindakan apapun. Kita tidak boleh membuang
waktu untuk memikirkan cara penerapan hukum syariat Islam dengan cara
kekerasan atau kekuatan bersenjata, sebelum dasar pondasi Islam itu bisa
diterima dengan baik oleh seluruh elemen masyarakat. Dengan
sendirinya, mereka akan memberlakukan pondasi itu dalam sistem
perundang-undangan yang mereka miliki. Beginilah dahulu cara Rasulullah
berdakwah bersama para shahabatnya, sehingga akhirnya pondasi tersebut
bisa berkembang dan berubah menjadi pondasi yang kokoh dan kuat.
Kemudian setelah itu, pndasi tersebut dibangun mejadi sistem
perundang-undangan di kota Madinah. Sebenarnya mudah saja bagi
Rasulullah untuk memerintahkan salah satu shahabatnya untuk membunuh Abu
Jahal atau orang lain yang menghalang-halangi usaha dakwah beliau. Akan
tetapi, beliau tidak mau melakukannya, meskipun mudah untuk
direalisasikan karena para shahabat akan mematuhi perintahnya dengan
segera. Namun, sekali lagi, beliau enggan melakukannya, karena hal tersebut bukanlah merupakan cara berdakwah yang benar.’” (Ahmad Abdul Hamid, Al Qishash Al Kamilah li Tanzhim)
Sayyid Quthb Anti Mengkafirkan Sesama Muslim
Sayyid Quthb dalam Limadza A’damuni,
mengatakan, “Kami tidak pernah mengkafirkan orang lain. Bohong kalau
dikatakan kami telah mengkafirkan sesama muslim. Yang kami katakan
adalah, ‘Jika dilihat dari segi ketidaktahuan mereka tentang akidah
Islam beserta tafsirannya yang benar, dan juga jauhnya mereka dari
kehidupan Islami, maka dapat dikatakan bahwa mereka berada pada kondisi
yang mirip dengan kondisi masyarakat Jahiliyah dahulu.’ Soal
mendirikan pemerintahan Islam, itu bukanlah tujuan yang harus
direalisasikan olehgerakan kami. Jauh lebih penting bagi kami untuk
memprioritaskan menanamkan akidah dan pendidikan akhlak Islam, daripada
menghukum orang lain dengan predikat kafir.”
Sayyid Quthb dan Penggunaan Senjata
Dalam Al Ikhwan Al Muslimun: Ahdats Shana’a At Tarikh,
Ustadz Mahmud Abdul Halim menulis artikel tentang hubungan Sayyid Quthb
dan Ikhwanul Muslimin. Disebutkan perjuangan Ikhwanul Muslimin yang
telah mengobarkan perlawanan melawan militer Inggris di Terusan Suez
pada akhir 1951. Inggris menghadapi perlawanan ini secara brutal dengan
menghancurkan rumah-rumah dan membunuh banyak orang. Melihat banyaknya
korban yang jatuh, sebagian pemuda Ikhwanul Muslminin berpendapat bahwa
mereka harus melawan pasukan Inggris secara penuh dengan seluruh
kekuatan yang dimiliki. Namun, sebagian lainnya berpendapat bahwa
perlawanan harus dilakukan secara cermat dan penuh perhitungan, sambil
menunggu waktu yang tepat untuk menyerang markas militer Inggris.
Perbedaan pendapat ini membuatkeadaan semakin membingungkan, mereka
menunggu pendapat pimpinan Ikhwanul Muslimin, Ustadz Hasan Al Hudhaibi.
Saat itulah Sayyid Quthb maju meminta
keputusan Hasan Al Hudhaibi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat.
Sayyid mendukung perjuangan para pemuda Ikhwanul Muslimin, meskipun
Sayyid bukan anggota Ikhwan saat itu. Ia menulis artikel berjudul “Pendapat Ikhwan dan Pendapat Islam” di koran Al Mashri.
“Pada saat ini,
rakyat sangat membutuhkan perkataan yang tegas, jelas, dan resmi dari
ikhwanul Muslimin, karena keadaaan sudah semakin mendesak.
Saudara-saudara pergerakan Islam, termasuk aku di dalamnya merupakan
orang yang paling antusias mendengarkan pernyataan ini terhadap berbagai
persoalan yang dihadapi bangsa.”
“Sesungguhnya peran
Islam dalam perjuangan rakyat selalu merupakan peran yang positif. Saat
ini, rakyat berjuang untuk mencapai dua tujuan agung, yaitu bebas secara
mutlak dari setiap penjajahan asing, dan tujuan untuk mencapai keadilan
sosial yang bebas dari segala eksploitasi. Pendapat Islam mengenai hal
ini telah jelas, lantas bagaimana pendapat Ikhwan?”
Al Hudhaibi menyambut baik teguran dari Sayyid, ia menjawab melalui koran yang sama dengan judul “Ikhwan Ikhwan” yang berisi penguatan semangat jihad para pemuda Ikhwan.
Selain itu, dalam konsep pemikiran
gerakan Islam baru, Sayyid Quthb mengatakan perlunya melakukan upaya
penjagaan gerakan Islam jika diserang secara konfrontatif oleh pihak
luar.
“Dalam waktu yang
sama, seiring dengan berjalannya agenda-agenda tarbiyah, harakah harus
dilindungi dari berbagai serangan pihak luar—baik berupa penghancuran,
pembekuan terhadap kegiatan-kegiatannya, penyiksaan terhadap
anggota-anggotanya, dan pengusiran terhadap keluarga dan anak-anak
mereka, yang dikendalikan oleh konspirasi-konspirasi dan
skenario-skenario musuh. Sebagaimana hal itu pernah menimpa Ikhwanul
Muslimin tahun 1948, tahun 1954, dan kemudian tahun 1957. Juga
sebagaimana yang kami dengar dan kami baca mengenai apa yang menimpa
jamaah-jamaah lainnya, seperti Jamaah Islamiyah Pakistan. Ia berjalan di
atas jalan yang sama dan tumbuh dari skenario dan konspirasi
internasional yang sama.
Penjagaan ini dapat
dilakukan dengan membentuk regu-regu yang dilatih berkorban untuk
menjadi tumbal setelah mendapatkan tarbiyah Islam. Mulai dari landasan
aqidah sampai pada akhlak. Regu-regu ini bukan untuk memulai menyerang,
bukan pula untuk menggulingkan pemerintahan, atau ikut serta dalam
kegiatan-kegiatan politik lokal, tidak! Selama harakah dalam kondisi
aman dan stabil dalam melaksanakan ta’lim, menanamkan pemahaman,
tarbiyah. dan pengarahan. Selama dakwah tetap kuat dan tidak dihadang
dengan kekuatan, tidak dihancurkan dengan kekerasan, dan tidak pula
mendapat siksaan, pengusiran, dan pembantaian, maka regu-regu ini tidak
boleh campur tangan dalam kegiatan-kegiatan yang sedang berlangsung.
Akan tetapi, ia ikut campur tangan hanya ketika harakah, dakwah, dan
jamaah diserang. Ketika itu. regu-regu ini harus melawan dengan cara
menyerang pihak yang menyerang, sebatas agar harakah dapat terus
berjalan. Sebab, keberhasilan dalam melaksanakan sistem Islam dan
berhukum dengan syariat Islam itu bukanlah tujuan jangka pendek. Karena
hal itu tidak dapat terealisir kecuali setelah memindahkan masyarakat
itu sendiri, atau sejumlah orang yang mencukupi dari masyarakat itu yang
memiliki nilai dan bobot dalam kehidupan umum. Kepada aqidah Islam yang
benar kemudian kepada sistem Islam, dan kepada tarbiyah Islamiyah yang
benar di atas akhlak Islam. Meskipun hal itu akan memakan waktu yang
lama dan melalui tahapan-tahapan yang lambat.”
Dengan demikian, kita melihat ada dua
kondisi dimana Sayyid Quthb mendukung kekerasan bersenjata, yakni dalam
hal mengusir penjajah dan dalam hal mempertahankan kelangsungan dakwah
yang diserang terlebih dahulu. Namun, jika gerakan Islam tidak diserang
lebih dahulu, maka tidak diperbolehkan melakukan serangan terlebih dulu.
***
Dengan demikian, menurut Dr. Munir
Muhammad Al Ghadban, Sayyid Quthb adalah orang yang anti kekerasan,
bahkan ia adalah korban dari tindak kekerasan. Beliau tidak menafikkan
bahwa sebagian ijtihad Sayyid Quthb dipengaruhi oleh sifat dan kondisi
lingkungan yang terjadi di masanya. Namun, tidak menutup kemungkinan
kalau beberapa ijtihadnya ternyata bertentangan dengan sifat dan kondisi
tersebut.
“Harus aku katakan bahwa Islam itu lebih
besar dari ini semua … Islam adalah aturan hidup yang sempurna. Islam
itu tidak tegak kecuali dengan tarbiyah dan pembentukan individu.
Kecuali dengan menegakkan syariat Allah di dalam kehidupan manusia
setelah mereka di-tarbiyah secara Islami. Islam itu bukan sekadar
pemikiran yang disebarluaskan tanpa dilaksanakan dalam realita yang
nyata, yang pertama pada tarbiyah dan yang terakhir pada sistem
kehidupan dan negara.”
“Sesungguhnya, Islam itu tidak akan
tegak di sebuah negara yang di dalamnya tidak terdapat gerakan tarbiyah,
yang pada akhirnya berwujud sebagai sistem Islam yang menjalankan hukum
berdasarkan syariat Allah. Inilah kata-kata terakhir dari seseorang
yang tengah menyongsong Wajah Allah dengan mengikhlaskan hati dan
menyampaikan dakwahnya sampai akhir hayatnya,” tulis Sayyid dalam pesan
terakhirnya, Limadza ‘Adamuni (Mengapa Aku Dihukum Mati?).
sumber: http://bit.ly/yA2Rn7
No comments:
Post a Comment
No Sara No Anarki....
klik Select Profile ( pilih name/URL dan isilah namamu selengkapmu gan..)