Siang itu ada kemeriahan bersahaja. Sajian prasmanan makanan untuk
puluhan orang tersedia di halaman parkir Masjid Jogokariyan. Meski
sederhana, nuansa walimah tampak terasa. Memang tengah ada sepasang
insan dinikahkan di masjid ini. Bagi yang melihat pemandangan itu, akan
mudah memersepsi pasangan tersebut berasal dari kalangan biasa atau
bahkan tidak mampu. Maklum, Masjid Jogokariyan jamak membantu masyarakat
yang hendak menunaikan syariat semacam pernikahan.
Tetapi dhuha itu menampilkan pemandangan menipu. Meski sekadar ijab kabul dan walimatul ursy
dari racikan tangan jamaah Masjid Jogokariyan sendiri, sang mempelai
pria bukanlah orang biasa. Ia salah satu orang terkaya dari Malaysia. Si
perempuan juga dari jiran. Mereka sengaja berada di Indonesia,
khususnya Masjid Jogokariyan memang bukan untuk wisata biasa, melainkan
meminta Ustadz Jazir ASP, sang ketua takmir masjid, untuk menikahkan
keduanya.
Nama Masjid Jogokariyan dan Ustadz Jazir memang sudah dikenal di
jiran. Ini bukan isapan jempol. Tengok saja tiap tahun selalu ada para
aktivis masjid dan dai yang berguru ke kampung yang dulunya
basis Partai
Komunis Indonesia (PKI). Sosok Jazir sendiri tidak terlepas dari
kiprahnya sebagai sosok di balik pengajaran metode baca Al-Qur`an, Iqra,
yang kadung dikenal di Malaysia.
Kalau jiran saja belajar, terlebih para takmir dan aktivis masjid di
Nusantara. Jogokariyan bisa dikatakan tempat belajar paling tepat.
Pengalaman dan aksi sudah terbukti. Contoh nyata lebih banyak ketimbang
pembicaraan teoretis para takmirnya. Bagaimana masjid bisa mandiri dan
bahkan hendak menjadi pusat peradaban, bukan sekadar jargon kosong.
Kesadaran Bersama
Menuju ke pencapaian wah Jogokariyan, tidaklah dilakukan dalam satu
malam. Ada tahapan yang jatuh bangun, terutama di awal-awal pendirian
manakala para aktivis dakwah dari Muhammadiyah Karangkajen berdakwah di
kampung yang kadung ditulis gelap di sejarah lantaran PKI pernah
menggelar lakon ketoprak bertajuk Matine Gusti Allah.
Pada awalnya memang menggiatkan shalat jamaah. Berikutnya aktivitas
sosial yang menyentuh hajat masyarakat setempat. Hari ini kita bisa
saksikan berduyun-duyun dari orang tua, anak muda, anak-anak, tanpa
membedakan pria atau wanita, hadir untuk berjamaah ke masjid. Jangan
tanya bagaimana jumlah dan kepadatannya.
Kunci Masjid Jogokariyan bisa seperti sekarang tidaklah semata
terletak pada figur tertentu. Memang, sosok Ustadz Jazir memegang andil
penting selaku pemikir masjid. Tetapi, regenerasi tidak terhenti,
terutama dengan adanya beberapa wadah bagi orang dewasa, anak muda
hingga anak-anak. Kekompakan menjadi kunci menuju masjid yang
dicita-citakan. Semua bisa menyumbang ide, semua bisa memberikan gagasan
untuk memajukan masjid. Egalitarian inilah yang sedikit sulit didapati
di masjid-masjid kampung (juga kampus?) yang menempatkan sosok sentral
dan tokoh seniorlah yang dominan.
Di Masjid Jogokariyan, pemilihan takmir dengan mencontoh pemilihan
umum dalam sistem perpolitikan kita, sudah bukan barang baru lagi. Pun
demikian dalam soal kepedulian sosial. Ketika gerakan relawan belakangan
marak, masjid ini sudah lama mempunyai gerakan serupa. Maka, saat ada
musibah, masjid menjadi corong penting dalam membantu sesama manusia,
khususnya yang tertimpa musibah. Relawan Masjid Indonesia, merupakan
contoh wadah gerakan terlembaga aktivis Masjid Jogokariyan saat Merapi
erupsi akhir Oktober dan awal November 2010.
Egalitarian menjadi penting dalam arti menempatkan setiap manusia
adalah hamba Allah yang hendak mencari pahala dan ridha Allah. Kita akan
dapati di balik kesuksesan Masjid Jogokariyan sesungguhnya ada
manajemen yang bisa dikatakan sederhana bahkan tradisional di mata ahli.
Teori-teori manajemen di bangku perkuliahan boleh jadi lebih ‘modern’,
tetapi manajemen organisasi Masjid Jogokariyan masih tetap efektif
dengan menggunakan taktik Total Football. Semua bisa terlibat, dan
melaksanakan ide selagi bermanfaat bersama.
Inilah yang kemudian memunculkan kesadaran memiliki. Maka, meski
secara perekonomian tidak bisa dibilang kampung kaya raya penghuninya,
Masjid Jogokariyan bisa menghimpun dana infak secara fenomenal.
Bandingkan di masjid perkompletan yang diisi kaum berada, jumlah
infaknya tetap tidak mampu mengalahkan Jogokariyan. Kalaupun bisa, itu
temporer kala Ramadhan. Pembaca bisa melihat daftar infak di ruang-ruang
publik di sekitar Masjid Jogokariyan ihwal perolehan infak, termasuk
dalam pembangunan gedung tiga lantai belakangan ini.
Setiap warga setempat yang memiliki harta, entah sedikit atau banyak,
tanpa ragu berandil menyumbang. Saya pernah tinggal di kampung dekat
kampus UGM, dengan jumlah orang kaya lebih banyak daripada kampung
Jogokariyan. Ada mantan menteri dan seorang komisaris bank BUMN. Tetapi
soal infak, amat jauh dari perbendaharaan infak di Jogokariyan. Selain
itu, di Masjid Jogokariyan, yang bernama donatur tidak merujuk pada
individu tertentu. Berbeda dengan di kampung tempat saya indekos dulu.
Sudah begitu, kadang ada saja donatur yang berunjuk gigi dalam
menyumbang; sebuah tabiat yang sepertinya langka didapati di kalangan
donatur Jogokariyan. Mereka warga biasa, para pengusaha atau pegawai
negeri biasa, tetapi menyangkut soal derma di jalan Allah, jangan tanya.
Harusnya, kalangan kampus malu akan hal ini.
Kerumunan Cerdas
Kalaulah boleh disebut kerumunan, kerumunan bernama jamaah Masjid
Jogokariyan merupakan kerumunan yang cerdas. Mereka memiliki kecerdasan
kerumunan (swarm Intelligence) yang bisa menghimpun setiap kekurangan
warga yang bila disatukan menjadi sebuah kekuatan luar biasa. Hari ini
kita seperti menyaksikan pemandangan dan berita ganjil bernama kebajikan
di Jogokariyan. Sekadar sandal hilang di masjid, Anda siap dibelikan
sandal serupa. Jika Anda sakit, ada tim medis yang siap menangani
gratis. Bila Anda ingin berteduh karena dari luar Yogyakarta, naik saja
ke lantai dua atau tiga untuk bermalam—tentu setelah meminta izin ke
para pengurus harian yang tidak birokratis.
Sebagai kerumunan nan cerdas, Masjid Jogokariyan memiliki visi. Ia
ibarat koloni semut yang tahu ke mana mau melangkah dan untuk apa. Meski
secara pendidikan para takmir dan jamaahnya tidak lebih baik dari
masjid di perkampungan dosen atau bahkan masjid-masjid kampus, tetapi
fakta memperlihatkan bahwa pengelolaan Jogokariyan masih jauh lebih
unggul secara prestasi dan efek di masyarakat. Semua orang terlibat dan
diajak dilibatkan, tidak memandang dari latar belakang apa.
Maka, bila Pak Cik dari jiran datang ke masjid di dekat Pondok
Krapyak itu tentu bukan sebuah insiden kebetulan. Dia jauh-jauh yang
hendak ke Jogokariyan tentu memendam misi; misi pembelajaran tentunya.
Kita tidak tahu apakah Pak Cik itu akan membawa oleh-oleh ilmunya
sesampainya di sana. Semoga saja, aktivis kampus dan para intelektual
yang mumpuni di keilmuan manajemen tidak sungkan untuk belajar dari
mereka yang bersahaja mengurusi masjid di perkampungan Jogokariyan.
sumber: http://bit.ly/ySL6Cj
informasi yang sangat menarik dan bermanfaat nih gan
ReplyDeletesenang bisa berkunjung ke blog anda
terimakasih banyak
senang bisa berkunjung ke blog anda gan
ReplyDeletekeren dan bermanfaat sekali info nya
terimakasih, sukses terus